1. ARKANUL IMAN
“Iman adalah kumpulan kebenaran yang dipahami dan
diyakini secara mutlak, sesuatu yang kemudian
mengarahkan pemikiran, membentuk kemauan dan meluruskan perilaku.”
Maka “Apa yang harus saya
lakukan/pahami jika saya beriman kepada rukun iman ?”. Berikut ini adalah
rincian keimanan kepada rukun iman :
1.a. Iman Kepada Allah
Aqidah keimanan kepada Allah tidak hanya terbatas pada
keimanan bahwa Allah itu ada, tetapi juga mencakup ilmu yang benar, lengkap dan
sempurna, tentang sifat-sifat Allah. Dan pada kenyataannya konsepsi aqidah yang
dikemukakan semua agama – kecuali Islam – ternyata keliru mengenai hal-hal
tersebut diatas.
Beberapa
rincian keimanan kepada Allah yang harus kita yakini :
1.a.i. La Nafi’a Wa La Dzhar Ilallah
(Tiada yang memberi manfaat atau mudharat selain
Allah)
“…
sesungguhnya kekuatan itu milik Allah semua …” (QS. Al-Baqarah, 2:165)
“…
dan selain Allah, tiada bagimu seorang pun pelindung dan penolong.” (QS.
Al-Baqarah 2:107)
“…
kemenangan itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Ali ‘Imran, 3:126)
“Sesungguhnya
Allah itu Dia yang Maha Pemberi rezki, yang Maha Mempunyai Kekuatan lagi Maha
Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat, 51:58)
“Kalau Allah menimpakan suatu kemadharatan kepadamu, maka
tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia…” (QS. Yunus, 10:107)
Sebelum mengenal Tuhannya, seakan-akan manusia selalu
meletakkan dahinya ke tanah begitu melihat adanya kekuatan dan keperkasaan
benda-benda di alam semesta yang dianggapnya bisa memberi manfaat atau mudharat
– yang mengakibatkannya selalu menengadahkan tangan, menggantungkan harapan dan
memintakan pertolongan kepada benda-benda itu – maka begitu ia mengenal Allah,
Tuhannya, serta merta mengertilah ia secara ‘ilmul-yakin bahwa
benda-benda itu pun sama sekali tidak bisa memberikan apa-apa.
Tatkala manusia telah berhasil memperoleh keyakinan ilmu
ini, ia tidaklah bergantung lagi pada kekuatan alam dan tidak pula takut
padanya; dan setelah itu ia tidak mau lagi meletakkan dahinya dihadapan siapa
pun selain Allah, bahkan tidak pula mau menengadahkan tangan untuk meminta
tolong ataupun takut selain kepada-Nya. Dan pada akhirnya keimanan ini akan melahirkan
rasa keyakinan dan percaya diri.
1.a.ii. La Mu’dhirra Illallah
(Tiada daya dan kekuatan selain Allah)
“Dan
Dia-lah yang berkuasa atas semua hamba-Nya. Dan Dia pulalah yang Maha Bijaksana
lagi Maha Tahu.” (QS. Al-An’am, 6:18)
“…
Allah itulah yang Maha Kaya, sementara kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya…”
(QS. Muhammad, 47:38)
Seorang muslim harus memahami kebesaran Allah
Azza wa Jalla dan menyadari kelemahan dirinya. Jika kedua hal ini telah hadir
maka akan menumbuhkan sifat tawadhu’(Rendah
hati).
Walaupun seorang muslim memiliki
rasa kepercayaan diri, tetapi kepercayaan diri yang tumbuh akibat keimanan
kepada Allah bukanlah kebanggaan keliru, tetapi harga diri itu merupakan hasil
dari pemahaman yang mendalam atas hubungan dirinya dengan Allah yang Maha
Agung. Karena itu tidak ada suatu kepercayaan diri apa pun, yang dimilikinya,
yang tidak disertai dengan sikap tawadhu”.
“Dan
hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di
muka bumi dengan rendah hati, dan apabila mereka dicela oleh orang-orang jahil,
mereka mengucapkan kata-kata salam (keselamatan).” (QS. Al-Furqan, 25:63)
Secara lebih sempurna, penggabungan antara
keyakinan dan percaya diri disatu sisi dengan sikap tawadhu digambarkan
secara tepat dalam firman-Nya :
“…
suatu kaum yang Allah Mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, …” (QS. Al-Maidah, 5:54)
1.a.iii. La Musta’ani Bihi Illallah
(Tiada yang dimohonkan pertolongannya selain
Allah)
Seorang muslim wajib meyakini penuh terhadap
Allah akan ampunan, bantuan dan pertolongannya sehingga membuahkan rasa optimis tanpa bisa dipengaruhi dan dikalahkan oleh
rasa pesimis ataupun putus asa. Manusia dituntut untuk selalu berlindung dengan
keyakinan penuh terhadap ampunan Allah seraya mengharap pertolongan ataupun
bantuan-Nya, sebab Allah itulah yang menjamin keamanan dirinya.
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya
Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku.
Karena itu hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka senantiasa dalam
kebenaran.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)
Jangan pernah pesimis untuk memperoleh rahmat
“…
dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…”
(QS. Al-A’raf, 7:156)
“…
sesungguhnya tidaklah putus asa dari rahmat Allah, melainkan orang-orang yang
kafir.” (QS. Yusuf, 12:87)
Orang beriman bukanlah wataknya untuk putus
harapan dalam meminta ampunan, bantuan dan pertolongan-Nya.
“Dan
barangsiapa melakukan kejahatan ataupun menzhalimi dirinya sendiri, kemudian ia
meminta ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah itu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’, 4:110)
Rasa optimis kepada Allah SWT ini melahirkan
watak bahwa jika suatu sarana-sarana duniawi tidak sesuai dengan dirinya, maka
hendaklah ia melepaskan ketergantungan-nya pada sarana tersebut, lalu pasrahkan
seluruhnya kepada Allah, sehingga ia tidak merasa khawatir dan berkecil hati.
“Sesungguhnya
orang-orang yang berkata: Tuhan kami adalah Allah! Lalu mereka meneguhkan
pendiriannya (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (seraya
mengatakan): Janganlah kalian merasa takut dan jangan pula bersedih…” (QS.
Fushshilat, 41:30)
1.a.iv. La Wakila Illallah
(Tiada tempat tawakal selain
Allah)
Secara lebih rinci keimanan ini menuntut
adanya kesabaran, tawakal dan istiqamah pada
diri seorang muslim.
Didasari
keimanan akan Ke-Maha Bijaksanaan-Nya terhadap apa yang menimpa diri maka tidak
ada satu musibah, penderitaan, ancaman dan kesengsaraan duniawi yang mampu
menggeser kedua kakinya, sehingga ia bersedia mengendorkan tali keimanan ini.
Ia yakin bahwa tidak ada suatu musibah pun
yang akan menimpanya kecuali dengan pengetahuan dan izin Allah.
“Katakanlah:
Sekali-kali tidaklah menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah
bagi kami. Dia-lah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah
orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah, 9:51)
Kekuatan sabar, tawakkal dan
istiqamah seperti ini merupakan kekuatan yang jauh berada di atas kekuatan
manusia dan mustahil diperoleh manusia tanpa keimanan terhadap Allah.
Sifat-sifat diatas keseluruhannya
dilahirkan dari keimanan akan sifat-sifat ketuhanan. Ikrar syahadat telah
meniadakan sifat-sifat ketuhanan tersebut dari semua makhluk yang ada di langit
maupun di bumi.
Sifat-sifat ketuhanan ini tidak
bisa dipisah-pisah, sehingga bisa muncul banyak Tuhan yang masing-masing memiliki
sifat-sifat ketuhanan tersebut.
Sifat ketuhanan juga tidak berupa
sesuatu yang dangkal, yang terbatas oleh waktu dan terkurung masa, sehingga
mengakibatkan Tuhan itu sesekali berkuasa dan lain kali tidak.
Sifat ketuhanan juga tidak bisa
dipindah-pindah, sehingga mengakibatkan Tuhan berkuasa disuatu tempat tetapi
tidak berkuasa di tempat lainnya.
“Subhaanallahi
amma yuskrikuun” (Maha Sucilah Allah dari apa pun yang mereka
persekutukan) (Q.S. Al-Hasyr 59:23)
1.b. Iman Kepada Malaikat
Iman kepada malaikat tidak terbatas hanya pada pengakuan
tentang eksistensi malaikat semata, tetapi juga dimaksudkan untuk memberi
pemahaman kepada manusia tentang kedudukan mereka yang hakiki dalam sistem
perwujudan alam semesta ini, sehingga keimanan kepada Allah SWT dibangun atas
asas tauhid yang murni dan bersih dari noda syirik.
Para
malaikat, oleh sementara agama, disembah dan dianggap sebagai dewa-dewa yang
masing-masing memimpin sejumlah komponen alam semesta semisal udara, petir, guntur, hujan, cahaya,
kegelapan dan panas. Sementara itu oleh agama yang lain lagi, para malaikat
dipandang sebagai “tuhan-tuhan kecil” yang mewakili dan membantu Tuhan dalam
mengatur sistem alam semesta. Untuk agama lainnya menganggap para malaikat
sebagai “gambaran” Tuhan. Singkat kata, mereka ini mengatakan bahwa malaikat
itu adalah sekutu-sekutu Allah yang sama-sama memiliki sifat Uluhiyah dan
Rububiyah. Karena itu pulalah maka mereka mematungkan malaikat dalam
bentuk beraneka ragam yang kemudian mereka sembah, mereka jadikan tempat
memohon doa dan meminta pertolongan. Dengan demikian berkembanglah berbagai
macam syirik di dunia ini dan tersebarluaslah akibat-akibatnya.
Posisi malaikat dalam sistim alam semesta :
1.b.i. Malaikat adalah hamba Allah yang dimuliakan dan taat
“Dan
mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah Mengambil (Mempunyai) anak”,
Maha Suci Allah. Sebenarnya (Malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang
dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka
mengerjakan Perintah-perintah-Nya.” (QS. Al Anbiya’ 21:26-27)
Kendatipun
para malaikat bertugas mengatur alam semesta ini, namun mereka hanya
menjalankan batas-batas yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada mereka dan
mereka sama sekali tidak memiliki daya untuk melanggar batas-batas yang telah
ditentukan-Nya barang satu rambut pun dalam melaksanakan ketaatan mereka. Mereka
selamanya taat dan tidak pernah membangkang
1.b.ii. Kedudukan Malaikat dinisbatkan kepada Manusia
Dan (ingatlah) ketika Kami Berfirman kepada para
malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah 2:34)
Lalu
berdasar itu bisakah dibenarkan bila manusia harus sujud kepada makhluk selain
Allah seraya mengakuinya sebagai tempat menyembah dan meminta pertolongan dalam
memenuhi kebutuhannya ?
Manakala
iman kepada Allah ditegakkan atas ilmu yang benar tentang eksistensi malaikat
dan kedudukan mereka dalam sistem alam semesta, niscaya ia bisa mengikis habis
semua bentuk noda kemusyrikan.
1.b.iii. Keimanan kepada Malaikat dan Kemurnian Wahyu Ilahi
Malaikat merupakan hamba-hamba
Allah yang bertugas menurunkan wahyu ilahi kepada para rasul dan nabi, serta
menyampaikan risalah dan hukum-hukum Allah kepada mereka.
Malaikay dijadikan sebagai hamba Allah
yang memiliki kekuatan, daya tahan, kehormatan dan keperkasaan, di mana mereka
tak mungkin ditembus oleh kekuatan-kekuatan setan yang mencoba masuk dalam diri
mereka menyelewengkan tugas mereka menyampaikan wahyu Ilahi.
“Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar firman
(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia, yang mempunyai kekuatan, yang
mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah yang memiliki ‘Arasy, yang
ditaati di sana
(di alam malaikat) lagi dipercaya” (QS. At-Takwir 81:19-21)
Yang ditarik dari kesimpulan
tersebut adalah dalam kaitan dengan keimanan kepada para rasul dan
kitab-kitab-Nya. Kita mesti meyakini bahwa perantara yang menyampaikan wahyu
Ilahi kepada para rasul itu adalah perantara yang benar dan mesti diyakini
bahwa mereka itu terbebas dari khianat dan campur tangan kekuatan luar.
1.c. Iman Kepada Para Rasul
Rasul adalah orang yang dianugerahi “ilmu” yang tidak
dimiliki oleh orang lain, serta dianugerahi Allah nur, hikmah dan
ketajaman berpikir yang tidak diberikan-Nya kepada orang lain, maka tidak ada
akidah lain tentang Allah SWT yang bisa dibenarkan kecuali yang telah
dijelaskan dan disampaikan oleh para rasul itu kepada ummat manusia.
Apabila seseorang di antara orang-orang awam ini membangun
suatu akidah tentang Dzat dan sifat-sifat Allah semata-mata di atas renungan
dan pemikirannya sendiri, atau melalui ajaran dan doktrin para filosof, maka
akidah semacam itu tidak mungkin dianggap benar buat selamanya.
Konsekuensi
keimanan kepada Rasul adalah :
1.c.i. Patuh dan Taat kepada Rasul
Ummat manusia mesti mengikuti
jalan yang telah ditempuh para nabi dan rasul Allah tiu, tidak saja dalam
masalah akidah dan peribadatan, tetapi sekaligus dalam seluruh aspek kehidupan.
“Barangsiapa yang mentaati rasul, sesungguhnya ia telah
mentaati Allah.” (QS. An-Nisa’, 4:80)
1.c.ii. Mengimani dakwah universal Nabi Muhammad SAW
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada
hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al-Furqan 25:1)
Misi Nabi Muhammad saw. tidak terbatas untuk
satu masa tertentu atau hanya untuk satu bangsa tertentu. Akan tetapi beliau
adalah pemimpin terbesar ummat manusia sepanjang zaman.
Maka seluruh umat manusia diwajibkan beriman
kepada kerasulan beliau, meyakini dan mengikutinya.
1.c.iii. Mengimani telah sempurnanya agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
“Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam ini menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah
5:3)
Ayat tersebut adalah petunjuk nyata bahwa
tidak ada lagi hidayah dan petunjuk kebenaran yang tidak termuat dalam risalah
Muhammad saw, dan semua ajaran agama yang sejenis dengan Islam seluruhnya telah
tercakup dalam risalahnya.
Dengan demikian tidak ada lagi kebutuhan yang
bisa dijadikan alasan bahwa manusia sekarang ini membutuhkan petunjuk, agama,
ilmu atau rasul yang baru.
1.c.iv. Mengimani bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. telah menghapus agama-agama terdahulu
Al-Qur’an
memerintahkan seluruh ummat manusia, termasuk orang-orang yang menjadi pengikut
ajaran para nabi sebelumnya, untuk beriman kepada Nabi Muhammad, mengikuti
syari-atnya dan mentaati perintahnya.
“Wahai
ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan (banyak pula) yang dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang
menjelaskan. Dengan kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita menuju cahaya yang
terang-benderang dengan seizin-Nya. Juga memberi petunjuk kepada mereka menuju
jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma’idah, 5:15-16)
1.c.v. Mengimani bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah penutup para nabi
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab, 33:40)
Risalah Nabi Muhammad SAW. telah dalam bentuk agama yang
sempurna dan dengan itu telah disempurnakanlah segala kekurangan yang ada pada
agama-agama sebelumnya. DI samping itu risalah Muhammad SAW. sama sekali tidak
mengadung sedikitpun kekurangan yang menyebabkan ummat manusia, sampai kapan
pun, merasa perlu menyempurnakannya. Karena itu tidak ada alasan bagi datangnya agama atau kebenaran lain
ke dunia ini.
1.d. Iman kepada Kitab Allah
Al-Kitab, menurut istilah Islam,
adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk menjadi
hidayah dan petunjuk bagi hamba-hambanya.
Lafadz dan makna al-Kitab bukanlah berasal
dari Rasulullah. Juga tidak muncul atas pemikiran dan kehendak beliau.
Fungsi Rasulullah dalam hal ini adalah
merupakan penyampai kalam Ilahi itu dengan kebenaran dan amanah yang sempurna.
Kemudian beliau ditugasi untuk memberikan penjelasan tentang isinya yang masih
global dan menafsirkan firman-firman yang perlu diberi penafsiran melalui ilmu
yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
Ummat manusia tidak mungkin mampu mengambil
manfaat dalam bentuknya yang sempurna dari isi al-Kitab itu dan karena itu
pulalah mereka membutuhkan seorang “maha guru” yang bisa menanamkan ilmu yang
terdapat dalam al-Kitab itu dalam jiwa mereka.
1.d.i. Mengimani semua kitab samawi
“Dan mereka yang beriman kepada kitab yang diturunkan
kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu.” (QS. Al-Baqarah 2:4)
Yaitu
beriman kepada kitab-kitab yang secara jelas disebutkan namanya dalam al-Qur’an
dan secara mujmal (global) kepada kitab-kitab yang tidak secara jelas
disebutkan di dalamnya. Sejalan dengan akidah Islam, maka tidak ada satu ummat
pun di dunia ini yang tidak mempunyai seorang rasul tanpa membawa kitab suci.
1.d.ii. Hanya tunduk pada al-Qur’an
Seorang Muslim harus memutuskan
kaitan dirinya dengan semua kitab itu dan hanya menyambungkan tali ketaatannya
semata-mata kepada al-Qur’an. Karena :
1.
Sebagian besar dari kitab
suci itu sudah tidak lagi kita dapati di dunia ini, sedangkan yang masih bisa
ditemukan kondisinya sudah tidak terpelihara lagi seperti aslinya
2.
Kitab-kita yang ada di
dunia sekarang ini – kecuali al-Qur’an – ajaran-ajarannya secara jelas
memperlihatkan bahwa kitab-kitab itu berlaku untuk masa-masa tertentu dan pada
bagian dunia tertentu pula
3.
Tidak ada satu pun di
antara kitab-kitab itu – selain al-Qur’an – yang mengandung kebenaran dalam
semua aspek ajarannya atau memuat penjelasan yang gamblang yang seluruhnya
mampu mengemukakan petunjuk bagi semua aspek kehidupan.
Beriman
kepada al-Qur’an secara rinci :
1.d.ii.1. Meyakini bahwa Al-Qur’an tetap terpelihara huruf dan kalimatnya seperti yang ada pada masa Rasulullah saw dulu.
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (QS.
Al-Hijr 15:9)
1.d.ii.2. Meyakini tidak ada satu kekuatan setan pun yang dapat memasukinya saat ia diturunkan
“Dan
al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh setan-setan. Dan tidaklah patut mereka
membawanya turun, dan mereka pun tidak akan mampu (melakukannya). Sesungguhnya
mereka benar-benar dijauhkan dari mendengar al-Qur’an itu.” (QS.
Asy-Syu’ara 26:210-212)
1.d.ii.3. Al-Qur’an tidak dimasuki oleh hawa nafsu Nabi saw.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm
53:3-5)
1.d.ii.4. Al-Qur’an tidak mengandung kebatilan sedikitpun
“Dan
sesungguhnya al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia, yang tiada datang kepadanya
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fushilat,
41:41-42)
1.d.ii.5. Kandungan al-Qur’an seluruhnya benar
Ia diturunkan bukan attas dasar dugaan dan
keraguan, melainkan atas ilmu dan keyakinan.
“Dan
sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar kebenaran yang diyakini.” (QS.
Al-Haqqah 69:51)
1.d.ii.6. Tidak ada hak bagi seorang pun, termasuk Nabi saw sendiri untuk merubah hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an.
“Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari
pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku pada siksa hari yang besar
(kiamat)” (QS. Yunus, 10:15)
1.d.ii.7. Segala sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an adalah batil dan tidak perlu diindahkan
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain Dia.” (QS. Al-A’raf 7:3)
Itulah akidah Islam yang berkenaan dengan
al-Qur’an. Siapa pun yang memiliki salah satu kekurangan dari bagian-bagian
tersebut di atas, niscaya ia tidak mungkin mentaati al-Qur’an dengan ketaatan
yang sebenar-benarnya, dan kalau sudah demikian, ia akan menyimpang dari
predikat “Islam”.
1.e. Iman kepada Hari Kemudian
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
mendustakan pertemuan dengan akhirat, sia-sialah amal perbuatannya.” (QS.
Al-A’raf 7:147)
1.e.i. Lebih Menekankan kehidupan akhirat atas kehidupan dunia
Dunia merupakan tempat tinggal sementara.
Dengan demikian hidup yang sejati bukanlah hidup di dunia ini, melainkan
kehidupan lain yang bakal datang, yang jauh lebih baik, lebih abadi dan lebih
besar manfaatnya disbanding kehidupan duniawi ini.
Barangsiapa yang silau oleh tujuan lahiriah
kehidupan duniawi ini dan tertipu oleh kenikmatan, kekayaan dan kelezatannya,
lantas mati-matian berusaha memperoleh semuanya itu dengan mengorbankan
kenikmatan dan kenyamanan kehidupan akhirat yang abadi, maka merugilah ia.
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka
mengetahui.” (QS. Al-Ankabut 29:64)
“Katakanlah
: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa.” (QS. An-Nisa’ 4:77)
“Apakah
kamu puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan akhirat? Padahal
kenikmatan kehidupan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat,
hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah 9:38)
“Adapun
orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhan-nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at 79:37-41)
“Ketahuilah
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu, serta saling berbangga
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning, lalu menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tiada
lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid 57:20)
“Dijadikan
indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, sawah-ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. Katakanlah: Maukah kamu
aku beri kabar tentang yang lebih baik dari yang demikian itu? Untuk
orang-orang yang bertakwa pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan ada (pula)
isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat pada
hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3:15-16)
Tujuan dari ajaran-ajaran yang
dikemukakan oleh Islam dengan gaya bahasa yang demikian jelas dan menawan guna
memperlihatkan pengaruh akhirat atas dunia. Siapapun yang beriman kepada
al-Qur’an dan kerasulan Muhammad saw hendaknya melaksanakan segala perintah
yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai sarana menuju
kebahagiaan di akhirat, serta menjauhi segala perbuatan yang telah
ditetapkan-Nya sebagai sebab-sebab yang mengantarkan pada penderitaan di
akhirat.
1.e.ii. Hisab dan Balasan Amal
Bahwa amal apapun yang dilakukan
manusia di dunia ini, sekalipun dengan maksud main-main, pasti dicatat dalam
buku catatan yang – tanpa memperhatikan besar kecilnya – pasti akan diberi
balasan, dan bahwasannya buku tersebut akan diberikan kepadanya di depan
mahkamah Allah yang adil di hari kiamat kelak, di mana ia akan melihat setiap
butir amal perbuatan yang telah ia kerjakan di dunia, dan bahkan lidah, mata,
tangan, kaki dan seluruh anggota tubuhnya akan memberikan kesaksian secara
langsung. Selanjutnya amal perbuatan itu akan ditempatkan dalam neraca yang
amat betul-betul lurus: amal baik di satu sisi dan amal buruk di sisi yang
lain. Kalau yang berat aadalah yang pertama, maka ia akan disambut oleh
keberuntungan dan kebahagiaan abadai. Surgalah tempat tinggalnya. Akan tetapi
bila yang berat adalah bagian yang lain, rugilah ia serugi-ruginya, dan tempat
kembalinya adalah jahannam.
Al-Qur’an menjelaskan pula bahwa
pada saat itu semua orang tidak didatangkan ke depan pengadilan Allah kecuali
sendiri-sendiri, dan bahwasannya adalah tidak berguna sedikitpun sarana-sarana
yang bisa dipergunakan di dunia dulu: tidak harta dan nasab, tidak perhiasan
dan pertolongan (orang lain), tidak kekayaan dan anak-anak, dan tidak pula
kekuasaan dan kedudukan.
Maraji’
Abul
A’la Maududi, Dasar-dasar Iman
Dr. Irwan Prayitno, Makrifatullah
0 komentar:
Posting Komentar