Sample Text

Total Pageviews

Jam

Facebook Pages

Google +

Our Topics

Affiliates

Poll

About Us

Resource

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

Social Icons

Followers

Featured Posts

Home » » Imam Syafi'i

Imam Syafi'i


Drs. Mohamad Gozali, MH.
Abstrak Hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang amat penting dalam kehidupan orang muslim, oleh karenanya studi hukum Islam merupakan cabang ilmu-ilmu keislaman yang paling penting usianya dan telah dikembangkan secara professional sejak zaman tabi’in dan terus berlangsung hingga sekarang Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan langkah metodologis untuk melakukan istinbath hukum dari dalil yang terperinci. Imam Syafi’I dianggap sebagai pelopor peletak dasar-dasar ilmu ushul fikih yang terlihat dalam karya beliau ar-Risalah. Kata-kata Kunci: Ushul fiqh, Sumber hukum, kaidah fikih, Qiyas
A. PENDAHULUAN
Menurut teori hukum Islam yang dibuat orang-orang Muslim pada zaman pertengahan, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar, yang disebut dengan “sumber-sumber hukum Islam (mashadirul ahkamus syar’iyyah). Sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, Ijma’ (konsensus) dan Qiyas (penalaran analogis)1. Keempat sumber tersebut adalah merupakan kesepakatan jumhur ahli ushul fiqh dengan berdasarkan pada al-Qur’an Surah an-Nisa (2), 59, dan al-hadits2
Pada dasarnya, sumber utama hukum Islam itu adalah al-qur’an, dan hadits. Di samping itu juga terdapat sumber-sumber tambahan meliputi ijma, qiyas, istihsan, kemaslahatan, urf, sadduz’dzari’ah, istishab, fatwa sahabat, dan syar’u man qablana. Wahbah az-Zuhaily membagi sumber hukum Islam itu pada dua bagian, yaitu sumber-sumber hukum Islam yang disepakati para ulama dan yang tidak disepakati para ulama. Sumber-sumber .
*Dosen STAIMA Sintang 1 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung:Pustaka,1984), p.90 2 Hadits ini sangat popular, yaitu pernyataan seorang faqih pada zaman Nabi Saw yang bernama Muaz bin Jabal, ketika ia diutus oleh Nabi Saw ke negeri Yaman. Lihat Wahbah az-Zuhailiy, Ush al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut:Dar-al-Fikr,2001), p.417-418.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
88
hukum yang disepakati para ulama adalah : al-qur’an, hadits, ijma, dan qiyas. Sedangkan sumber-sumber hukum yang tidak disepakati adalah: istihsan, al-masalih al-mursalah, istishab, urf, mazhab shahabi, syar’u man qablana, dan ad-dzaro’i3
Hukum Islam dilihat dari keberadaannya sudah muncul sejak zaman Nabi Saw terutama sejak periode Madinah, meskipun baru dirumuskan dan dibukukan menjadi ilmu fiqh pada awal abad ke 2 Hijriyah. Adapun ilmu Ushul Fiqh muncul belakangan di akhir abad ke 2 Hijriyah, di mana orang yang pertama kali merumuskan ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Syafi’i.
4 (150-204 H/767-820 M) dengan kitabnya yang berjudul ar-Risalah5
Al-Syafi’i dipandang sebagai ahli hukum yang pertama yang mengemukakan dasar-dasar hukum pada pertengahan kedua abad kedua Hijriyah.
6, dan oleh karenanya menurut Joseph Schacht7
B. PERAN AL-SYAFI’I DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM dia (al-Syafi’i ) adalah orang yang bertanggung jawab atas perkembangan teori tentang empat sumber pokok hukum Islam, dan adalah orang pertama yang menyusun buku tentang teori hukum Islam.
Dalam perkembangan dasar-dasar hukum Islam, al-Qur’an mempunyai identitasnya sendiri, tetapi ketiga sumber lain yaitu Sunnah, Ijma’ dan qiyas saling berhubungan erat satu sama lain. Dalam konteks perkembangan hukum Islam, maka sebagian besar hukum Islam termasuk
3 Wahbab az-Zuhaily, Ush al-fiqh al-islamiy, jilid I, (Beirut:dar al-Fikr,2001), hal.417 4 Nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin Hisyam bin al-Muthallib bin Abdi Manaf bin Qusay. Karya-karyanya antara lain: al-Hujjah, al-‘Um, ar-Risalah, Ahkamul Qur’an, ikhtilaf al-hadits, ibtal al-Istihsan, Jima’ al-‘Ilmj dan Kitab al-Qiyas. Lihat al-Maraghi, Abdullah Mustafha, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta:LKPSM,2001), p.91-96 5 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,(Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve), jilid 1, p.249 6 Fazlur Rahman, Islam, p.102 7 Lahir 15 Maret 1902 di Ratibor, Silesia. Ia memperoleh gelar D. Phil dengan predikat Summa Cumlaude dari Universitas Breslau tahun 1923. Ia juga mendapatkan gelar M.A. pada tahun 1947 dan gelar D.Litt pada tahun 1952, keduanya dari Universitas Oxford. Karyanya adalah : An Introduction to Islamic Law, (Oxford : Clarendon Press,1959), dan The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford :Clarendon Press,1959).
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
89
sumber-sumbernya, menurut Schacht, merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan historis.
Dengan merujuk kepada pengertian Sunnah yang berarti “kebiasaan masyarakat yang diriwayatkan oleh periwayatan lisan” maka menurutnya kata “sunnah” adalah hasil penalaran alami para ulama fiqh yang puncaknya konsep sunnah ini ditangan as-Syafi’i. Beliau mendefinisikan Sunnah sebagai satu-satunya model tingkah laku nabi, dan dia menjadi sumber utama hukum Islam yang sejajar dengan al-Qur’an.8
Dalam pandangannya tentang ijma’, maka ijma harus berdasar pada hadits Nabi Saw, dengan kata lain ijma’ didasarkan atas bukti-bukti tekstual. Ketika ijma’ dicapai atas dasar teks yang tidak diragukan lagi kekuatan dari teks tersebut. Sebab teks, karena sifatnya yang pasti, tidak mengizinkan perbedaan apapun. Bahkan kalaupun ijma’ dikenal tidak berdasarkan atas sebuah teks, masyarakat, ketika mencapai sebuah konsensus, dianggap tidak mungkin mengabaikan Sunnah nabi. Kata as-Syafi’i “ Kami yakin bahwa umat tidak akan bersepakat atas suatu kesalahan Syafi’i menyatakan teorinya bahwa sumber hukum Islam secara hirarki adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Seorang ulama harus menafsirkan bagian-bagian al-Qur’an yang bermakna ganda menurut sunnah Nabi, menurut konsensus orang-orang muslim, dan jika tidak ada konsensus, menurut qiyas. Jelas sekali bahwa qiyas diletakkan di luar ijma’, bukannya diletakkan pada tempatnya sebagai persiapan bagi dan dalam kerangka ijma’.
9
Menurutnya, pengetahuan (ilm’) terdiri dari dua jenis, yang pertama secara umum dimiliki oleh mayoritas masyarakat, dan yang kedua dimiliki oleh orang-orang khusus, yakni para ulama.. Jenis pengetahuan pertama sifatnya adalah tekstual dan tidak mungkin di dalamnya melahirkan perbedaan, sehingga jenis pengetahuan ini bersifat pasti. Adapun jenis pengetahuan kedua tidak terdapat dalam al-Qur’an dan tidak juga sebagian besar dari jenis ini dibuktikan dalam Sunnah. Sunnah apapun yang menyokong jenis pengetahuan ini, selalu ditranmisikan, dengan jalan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengetahuan jenis pertama. Untuk membedakannya, pengetahuan jenis kedua ditranmisikan oleh sedikit orang dari sedikit orang juga, dan mereka adalah para ulama.. Pengetahuan jenis
8 Imam Syafi’i, ar-Risalah, (Jakarta:Pustaka Firdaus,1992), p.7-8 9Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.223-224
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
90
ini, karena terkena penafsiran yang berbeda dan dicapai dengan cara qiyas, hanya menghasilkan kemungkinan10
Dibandingkan dengan pengetahuan jenis pertama yang pemahaman dan pelaksanaannya diwajibkan kepada semua umat Islam, maka pengetahuan jenis kedua ini hanya wajib bagi sebagian orang saja, yaitu para ulama. Mereka bertanggung jawab atas penelitian dan penafsiran hukum sehingga mereka bisa mengatur hidup mereka sesuai dengan hukum Allah tersebut
11
Ketika al-Qur’an ataupun Sunnah telah memberikan solusi hukum bagi sebuah persoalan tertentu, intervensi tidak dibutuhkan. Akan tetapi ketika muncul sebuah kasus baru di mana teks tidak memberikan suatu solusi, melakukan ijtihad bukan saja menjadi kebutuhan, melainkan juga sebagai kewajiban. Di dalam ketiadaan sebuah solusi tekstual yang sama untuk mencari solusi yang diberikan. Kalau kasus baru tersebut mempunyai kesamaan ma’na (ratio legis) seperti yang ada pada kasus tekstual, peraturan yang ada dalam teks harus ditransfer kepada kasus baru. Namun ratio legis seperti itu tidak selalu dapat diidentifikasi. Dalam keadaan seperti itu, ahli fiqh harus menelusuri semua kasus dalam teks-teks yang menyerupai kasus baru, kemudian ia harus langsung mentransfer peraturan kasus yang paling mirip dengan kasus baru Sekarang jelaslah, bahwa bagi as-Syafi’i semua pengetahuan yang bersifat umum dan ditanmisikan oleh banyak orang adalah pasti, sedangkan pengetahuan yang menjadi wilayah orang-orang khusus, tidaklah bersifat pasti. Menurutnya, sebuah consensus orang-orang tertentu, yang ditranmisikan oleh orang-orang khusus, tidaklah pasti. Tidak juga keputusan yang dicapai dengan jalan qiyas dan ijtihad, karena keduanya adalah metode penalaran dan penafsiran yang rentan terhadap kesalahan.
12
C. PANDANGAN JOSEPH SCHACHT DAN FAZLUR RAHMAN
Perkembangan historis sumber-sumber hukum Islam dan peran sentral Syafi’i dalam pembentukannya merupakan perhatian utama Schacht.. Schacht berpendapat, Syafi’i lebih dari para sarjana lain adalah orang yang bertanggung jawab atas perkembangan teori tentang empat sumber pokok hukum Islam, yaitu Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Schacht juga
10 Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.228 11 Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.228 12 Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.229
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
91
mempertahankan bahwa Syafi’ adalah orang pertama yang menyusun buku tentang teori hukum Islam, dengan beragumen bahwa “pernyataan…bahwa Abu Yusuf adalah orang pertama yang menyusun karya-karya hukum Islam atas dasar doktrin Abu Hanifah, tidak didukung oleh sumber-sumber tertua. Schacht menyatakan pandangannya bahwa selama paruh awal abad pertama Hijriyah, hukum Islam seperti yang kita ketahui sekarang ini belum ada. Hukum semacam itu jauh di luar bidang agama. Permulaan abad kedua hijriyah, atau pada periode Umayyah, merupakan era di mana Islamisasi hukum Islam memiliki titik tolak, yang melanjutkan perkembangannya hingga permulaan periode tulis-menulis. memiliki Menurut Schacht, ditangan as-Syafi’i-lah sistematisasi dan Islamisasi pemikiran hukum Islam telah mencapai puncaknya. Syafi’i menyatakan teorinya bahwa sumber-sumber hukum Islam secara hirarki adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Tidak ada ruangan dalam teori Syafi’i , untuk pikiran pribadi (ijtihad al-ra’y) semata atau hukum kebiasaan masyarakat dalam menjelaskan berbagai keputusan hukum. Seperti para ulama sebelumnya, menurut Schacht, Shafi’i memposisikan Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, dan Sunnah ditekankan sebagai yang berhubungan dengan Nabi secara tepat. Konsensus para ulama, yang dipegang sebagai sumber penting bagi para pendahulunya, menjadi tidak relevan bagi Syafi’i. Ia bahkan mengingkari keberadaan berbagai konsensus semacam itu karena ia selalu menemukan para ulama yang memegangi pendapat-pendapat yang berbeda, dan ia bersandar pada consensus sewluruh umat Islam secara umum tentang persoalan-persoalan pokok. Adapun mengenai qiyas, maka Syafi’i pada prinsipnya hanya mengakui pemikiran analogis dan sistematis yang tepat, dengan menggunakan qiyas sebagai satu-satunya jenis pemikiran untuk menggambarkan aturan-aturan tertentu dari tiga sumber sebelumnya. Usaha Syafi’i ini sebgai upaya final bagi perumusan sumber-sumber pada khususnya dan hukum Islam pada umumnya dipandang sebagai “sebuah system konsisten yang sangat bagus dan jauh lebih unggul daripada berbagai doktrin aliran-aliran klasik.
Pandangan Schacht ini tentu saja mendapat reaksi dari para sarjana Muslim, diantaranya adalah Fazlur Rahman. Menurut Rahman, Schacht telah gagal menggambarkan perbedaan konseptual yang jelas antara sunnah dan hadits. Rahman menjelaskan definisi Sunnah untuk membedakannya dengan konsep hadits. Sunnah menurutnya adalah “jalan yang ditempuh”, “prilaku yang dapat dijadikan teladan”. Baginya Sunnah menunjukkan praktek actual
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
92
yang melalui peneguhan yang lama, selama beberapa generasi berturut-turut memperoleh status normative dan menjadi “Sunnah”. Sedangkan hadits adalah istilah agama yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan dari sunnah. Hadits secara harfiah berarti “tradisi” dan “tidak lain kecuali sebuah refleksi dalam bentuk verbal”. Meskipun Rahman sependapat bahwa menurut pengujian historis, sebagian besar hadits Nabi yang diterima sebagai sumber otoritatif doktrin Islam kedua, dipalsukan oleh generasi belakangan. Meski demikian, terlalu jauh untuk disimpulkan bahwa tidak ada hubungan intim antara hadits yang dihimpun belakangan dalam al-kutub al-sittah dan hadits Nabi. Jelasnya, bahwa Rahman menolak tesis Schacht bahwa hadits (sunnah) Nabi adalah buatan para ulama muslim abad kedua. Adapun mengenai as-Syafi’i , walaupun,menurut Rahman, ia ahli hukum pertama yang menuliskan dasar-dasar hukum – pada umumnya telah dianggap berjasa meneguhkan kedudukan qiyas sebagai sebuah prinsip, namun caranya merujuk kepada qiyas ini menunjukkan bahwa prinsip tersebut memang sudah diterima umum. Menurut Rahman pada pertengahan abad ke 2 H, sejumlah besar hadits, yang dinyatakan sebagai datang dari nabi, telah muncul di arena. As-Syafi’I yang dipandang sebagai ahli hukum yang pertama yang mengemukakan dasar-dasar hukum pada pertengahan abad ke-2 H, menyerang metodologi yang ada dan dengan semangat dan usaha yang besar, menyerukan diterimanya materi hadits secara besar-besaran dalam hukum. Programnya adalah menyerang doktrin ijma’ dari aliran-aliran hukum yang ada dan membatasinya pada praktek-praktek dan kewajiban-kewajiban agama yang mendasar saja. Dengan tindakannya itu’ as-Syafi’I mau menyingkirkan ‘sunnah yang hidup’, dan ijma’ telah dijadikan benar-benar tak berdaya lagi, yakni telah ditekan pada kewajiban-kewajiban agama yang umum dan essensial yang juga terkandung dalam Sunnah verbal Hadits, maka ia akan mengisi seluruh kekosongan yang ditinggalkannya dengan hadits. Dengan kata lain, hanya hadits sajalah yang akan mewakili Sunnah, bukannya tradisi yang hidup atau ijma’. Hasil yang sangat penting dari usaha ini akan berupa dilepaskannya qiyas atau unsur penalaran dari kedudukan penenganya antara Qur’an dan Sunnah di satu pihak dan Ijma’ dipihak lain. Menurut Rahman konsepsi as-Syafi’i tentang ijma’ adalah konsep ‘peristiwa’ yang rapih dan teliti, kalau bukan suatu lembaga, sedangkan konsepsi aliran-aliran yang lama tentang ijma’ adalah sebagai suatu proses yang ilusif tetapi berpengaruh dari kristalisasi dan stabilisasi opini secara perlahan-lahan. Ijtihad atau Qiyas diletakkan di luar ijma’
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
93
D. PENUTUPKritik-kritik yang dilontarkan baik oleh sarjana Barat maupun sarjana Muslim, bukanlah berarti menghilangkah jasa Imam Syafi’i terhadap pembentukan dan perkembangan hukum Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa jasa imam Syafi’I terhadap pembentukan dan perkembangan hukum Islam sangat besar, sehingga Schacht sendiri memberikan apresiasi terhadap beliau, di mana dia mengatakan bahwa teori hukum Syfi’i lebih logis dan konsisten secara forman dibandingkan teori hukum para pendahulunya. Semoga makalah yang singkat ini dapat memberikan wawasan tentang teori hukum Imam Syafi’i dan beberapa pandangan dari Sarjana barat dan sarjana Muslim terhadap pemikiran imam Syafi’i.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
94
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fazlur, Islam, Jakarta:Pustaka,1984 ………………, Islamic Methodology in History, Karachi, 1965 Schacht, Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press,1959. Eksiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta:PT.Ichtian Baru van Hoeve. Al-Syafi’i, Muhammad Idris, al-Risalah Az-Zuhailiy, Wahbah, Ush al-Fiqh al-Islamiy, Beirut:Dar al-Fikr,2001

0 komentar:

Posting Komentar