Drs. Mohamad Gozali, MH.
Abstrak
Hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang
amat penting dalam kehidupan orang muslim, oleh karenanya studi hukum
Islam merupakan cabang ilmu-ilmu keislaman yang paling penting usianya
dan telah dikembangkan secara professional sejak zaman tabi’in dan terus
berlangsung hingga sekarang Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang
kaidah-kaidah yang menggambarkan langkah metodologis untuk melakukan
istinbath hukum dari dalil yang terperinci. Imam Syafi’I dianggap
sebagai pelopor peletak dasar-dasar ilmu ushul fikih yang terlihat dalam
karya beliau ar-Risalah. Kata-kata Kunci: Ushul fiqh, Sumber hukum,
kaidah fikih, Qiyas
A. PENDAHULUAN
Menurut teori hukum Islam
yang dibuat orang-orang Muslim pada zaman pertengahan, struktur hukum
Islam dibangun di atas empat dasar, yang disebut dengan “sumber-sumber
hukum Islam (mashadirul ahkamus syar’iyyah). Sumber-sumber tersebut
adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, Ijma’ (konsensus) dan Qiyas
(penalaran analogis)1. Keempat sumber tersebut adalah merupakan
kesepakatan jumhur ahli ushul fiqh dengan berdasarkan pada al-Qur’an
Surah an-Nisa (2), 59, dan al-hadits2
Pada dasarnya, sumber utama
hukum Islam itu adalah al-qur’an, dan hadits. Di samping itu juga
terdapat sumber-sumber tambahan meliputi ijma, qiyas, istihsan,
kemaslahatan, urf, sadduz’dzari’ah, istishab, fatwa sahabat, dan syar’u
man qablana. Wahbah az-Zuhaily membagi sumber hukum Islam itu pada dua
bagian, yaitu sumber-sumber hukum Islam yang disepakati para ulama dan
yang tidak disepakati para ulama. Sumber-sumber .
*Dosen STAIMA
Sintang 1 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung:Pustaka,1984), p.90 2 Hadits
ini sangat popular, yaitu pernyataan seorang faqih pada zaman Nabi Saw
yang bernama Muaz bin Jabal, ketika ia diutus oleh Nabi Saw ke negeri
Yaman. Lihat Wahbah az-Zuhailiy, Ush al-Fiqh al-Islamiy,
(Beirut:Dar-al-Fikr,2001), p.417-418.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
88
hukum
yang disepakati para ulama adalah : al-qur’an, hadits, ijma, dan qiyas.
Sedangkan sumber-sumber hukum yang tidak disepakati adalah: istihsan,
al-masalih al-mursalah, istishab, urf, mazhab shahabi, syar’u man
qablana, dan ad-dzaro’i3
Hukum Islam dilihat dari keberadaannya
sudah muncul sejak zaman Nabi Saw terutama sejak periode Madinah,
meskipun baru dirumuskan dan dibukukan menjadi ilmu fiqh pada awal abad
ke 2 Hijriyah. Adapun ilmu Ushul Fiqh muncul belakangan di akhir abad ke
2 Hijriyah, di mana orang yang pertama kali merumuskan ilmu Ushul Fiqh
adalah Imam Syafi’i.
4 (150-204 H/767-820 M) dengan kitabnya yang berjudul ar-Risalah5
Al-Syafi’i
dipandang sebagai ahli hukum yang pertama yang mengemukakan dasar-dasar
hukum pada pertengahan kedua abad kedua Hijriyah.
6, dan oleh karenanya menurut Joseph Schacht7
B.
PERAN AL-SYAFI’I DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM dia (al-Syafi’i ) adalah
orang yang bertanggung jawab atas perkembangan teori tentang empat
sumber pokok hukum Islam, dan adalah orang pertama yang menyusun buku
tentang teori hukum Islam.
Dalam perkembangan dasar-dasar hukum
Islam, al-Qur’an mempunyai identitasnya sendiri, tetapi ketiga sumber
lain yaitu Sunnah, Ijma’ dan qiyas saling berhubungan erat satu sama
lain. Dalam konteks perkembangan hukum Islam, maka sebagian besar hukum
Islam termasuk
3 Wahbab az-Zuhaily, Ush al-fiqh al-islamiy, jilid
I, (Beirut:dar al-Fikr,2001), hal.417 4 Nama lengkapnya Muhammad bin
Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin Hisyam bin
al-Muthallib bin Abdi Manaf bin Qusay. Karya-karyanya antara lain:
al-Hujjah, al-‘Um, ar-Risalah, Ahkamul Qur’an, ikhtilaf al-hadits, ibtal
al-Istihsan, Jima’ al-‘Ilmj dan Kitab al-Qiyas. Lihat al-Maraghi,
Abdullah Mustafha, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,
(Yogyakarta:LKPSM,2001), p.91-96 5 Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam,(Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve), jilid 1, p.249 6 Fazlur
Rahman, Islam, p.102 7 Lahir 15 Maret 1902 di Ratibor, Silesia. Ia
memperoleh gelar D. Phil dengan predikat Summa Cumlaude dari Universitas
Breslau tahun 1923. Ia juga mendapatkan gelar M.A. pada tahun 1947 dan
gelar D.Litt pada tahun 1952, keduanya dari Universitas Oxford. Karyanya
adalah : An Introduction to Islamic Law, (Oxford : Clarendon
Press,1959), dan The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford
:Clarendon Press,1959).
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
89
sumber-sumbernya, menurut Schacht, merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan historis.
Dengan
merujuk kepada pengertian Sunnah yang berarti “kebiasaan masyarakat
yang diriwayatkan oleh periwayatan lisan” maka menurutnya kata “sunnah”
adalah hasil penalaran alami para ulama fiqh yang puncaknya konsep
sunnah ini ditangan as-Syafi’i. Beliau mendefinisikan Sunnah sebagai
satu-satunya model tingkah laku nabi, dan dia menjadi sumber utama hukum
Islam yang sejajar dengan al-Qur’an.8
Dalam pandangannya tentang
ijma’, maka ijma harus berdasar pada hadits Nabi Saw, dengan kata lain
ijma’ didasarkan atas bukti-bukti tekstual. Ketika ijma’ dicapai atas
dasar teks yang tidak diragukan lagi kekuatan dari teks tersebut. Sebab
teks, karena sifatnya yang pasti, tidak mengizinkan perbedaan apapun.
Bahkan kalaupun ijma’ dikenal tidak berdasarkan atas sebuah teks,
masyarakat, ketika mencapai sebuah konsensus, dianggap tidak mungkin
mengabaikan Sunnah nabi. Kata as-Syafi’i “ Kami yakin bahwa umat tidak
akan bersepakat atas suatu kesalahan Syafi’i menyatakan teorinya bahwa
sumber hukum Islam secara hirarki adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’
dan Qiyas. Seorang ulama harus menafsirkan bagian-bagian al-Qur’an yang
bermakna ganda menurut sunnah Nabi, menurut konsensus orang-orang
muslim, dan jika tidak ada konsensus, menurut qiyas. Jelas sekali bahwa
qiyas diletakkan di luar ijma’, bukannya diletakkan pada tempatnya
sebagai persiapan bagi dan dalam kerangka ijma’.
9
Menurutnya,
pengetahuan (ilm’) terdiri dari dua jenis, yang pertama secara umum
dimiliki oleh mayoritas masyarakat, dan yang kedua dimiliki oleh
orang-orang khusus, yakni para ulama.. Jenis pengetahuan pertama
sifatnya adalah tekstual dan tidak mungkin di dalamnya melahirkan
perbedaan, sehingga jenis pengetahuan ini bersifat pasti. Adapun jenis
pengetahuan kedua tidak terdapat dalam al-Qur’an dan tidak juga sebagian
besar dari jenis ini dibuktikan dalam Sunnah. Sunnah apapun yang
menyokong jenis pengetahuan ini, selalu ditranmisikan, dengan jalan yang
lebih sedikit dibandingkan dengan pengetahuan jenis pertama. Untuk
membedakannya, pengetahuan jenis kedua ditranmisikan oleh sedikit orang
dari sedikit orang juga, dan mereka adalah para ulama.. Pengetahuan
jenis
8 Imam Syafi’i, ar-Risalah, (Jakarta:Pustaka Firdaus,1992), p.7-8 9Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.223-224
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
90
ini, karena terkena penafsiran yang berbeda dan dicapai dengan cara qiyas, hanya menghasilkan kemungkinan10
Dibandingkan
dengan pengetahuan jenis pertama yang pemahaman dan pelaksanaannya
diwajibkan kepada semua umat Islam, maka pengetahuan jenis kedua ini
hanya wajib bagi sebagian orang saja, yaitu para ulama. Mereka
bertanggung jawab atas penelitian dan penafsiran hukum sehingga mereka
bisa mengatur hidup mereka sesuai dengan hukum Allah tersebut
11
Ketika
al-Qur’an ataupun Sunnah telah memberikan solusi hukum bagi sebuah
persoalan tertentu, intervensi tidak dibutuhkan. Akan tetapi ketika
muncul sebuah kasus baru di mana teks tidak memberikan suatu solusi,
melakukan ijtihad bukan saja menjadi kebutuhan, melainkan juga sebagai
kewajiban. Di dalam ketiadaan sebuah solusi tekstual yang sama untuk
mencari solusi yang diberikan. Kalau kasus baru tersebut mempunyai
kesamaan ma’na (ratio legis) seperti yang ada pada kasus tekstual,
peraturan yang ada dalam teks harus ditransfer kepada kasus baru. Namun
ratio legis seperti itu tidak selalu dapat diidentifikasi. Dalam keadaan
seperti itu, ahli fiqh harus menelusuri semua kasus dalam teks-teks
yang menyerupai kasus baru, kemudian ia harus langsung mentransfer
peraturan kasus yang paling mirip dengan kasus baru Sekarang jelaslah,
bahwa bagi as-Syafi’i semua pengetahuan yang bersifat umum dan
ditanmisikan oleh banyak orang adalah pasti, sedangkan pengetahuan yang
menjadi wilayah orang-orang khusus, tidaklah bersifat pasti. Menurutnya,
sebuah consensus orang-orang tertentu, yang ditranmisikan oleh
orang-orang khusus, tidaklah pasti. Tidak juga keputusan yang dicapai
dengan jalan qiyas dan ijtihad, karena keduanya adalah metode penalaran
dan penafsiran yang rentan terhadap kesalahan.
12
C. PANDANGAN JOSEPH SCHACHT DAN FAZLUR RAHMAN
Perkembangan
historis sumber-sumber hukum Islam dan peran sentral Syafi’i dalam
pembentukannya merupakan perhatian utama Schacht.. Schacht berpendapat,
Syafi’i lebih dari para sarjana lain adalah orang yang bertanggung jawab
atas perkembangan teori tentang empat sumber pokok hukum Islam, yaitu
Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Schacht juga
10 Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.228 11 Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.228 12 Imam Syafi’i, ar-Risalah, p.229
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
91
mempertahankan
bahwa Syafi’ adalah orang pertama yang menyusun buku tentang teori
hukum Islam, dengan beragumen bahwa “pernyataan…bahwa Abu Yusuf adalah
orang pertama yang menyusun karya-karya hukum Islam atas dasar doktrin
Abu Hanifah, tidak didukung oleh sumber-sumber tertua. Schacht
menyatakan pandangannya bahwa selama paruh awal abad pertama Hijriyah,
hukum Islam seperti yang kita ketahui sekarang ini belum ada. Hukum
semacam itu jauh di luar bidang agama. Permulaan abad kedua hijriyah,
atau pada periode Umayyah, merupakan era di mana Islamisasi hukum Islam
memiliki titik tolak, yang melanjutkan perkembangannya hingga permulaan
periode tulis-menulis. memiliki Menurut Schacht, ditangan as-Syafi’i-lah
sistematisasi dan Islamisasi pemikiran hukum Islam telah mencapai
puncaknya. Syafi’i menyatakan teorinya bahwa sumber-sumber hukum Islam
secara hirarki adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Tidak ada
ruangan dalam teori Syafi’i , untuk pikiran pribadi (ijtihad al-ra’y)
semata atau hukum kebiasaan masyarakat dalam menjelaskan berbagai
keputusan hukum. Seperti para ulama sebelumnya, menurut Schacht, Shafi’i
memposisikan Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam, dan Sunnah
ditekankan sebagai yang berhubungan dengan Nabi secara tepat. Konsensus
para ulama, yang dipegang sebagai sumber penting bagi para pendahulunya,
menjadi tidak relevan bagi Syafi’i. Ia bahkan mengingkari keberadaan
berbagai konsensus semacam itu karena ia selalu menemukan para ulama
yang memegangi pendapat-pendapat yang berbeda, dan ia bersandar pada
consensus sewluruh umat Islam secara umum tentang persoalan-persoalan
pokok. Adapun mengenai qiyas, maka Syafi’i pada prinsipnya hanya
mengakui pemikiran analogis dan sistematis yang tepat, dengan
menggunakan qiyas sebagai satu-satunya jenis pemikiran untuk
menggambarkan aturan-aturan tertentu dari tiga sumber sebelumnya. Usaha
Syafi’i ini sebgai upaya final bagi perumusan sumber-sumber pada
khususnya dan hukum Islam pada umumnya dipandang sebagai “sebuah system
konsisten yang sangat bagus dan jauh lebih unggul daripada berbagai
doktrin aliran-aliran klasik.
Pandangan Schacht ini tentu saja
mendapat reaksi dari para sarjana Muslim, diantaranya adalah Fazlur
Rahman. Menurut Rahman, Schacht telah gagal menggambarkan perbedaan
konseptual yang jelas antara sunnah dan hadits. Rahman menjelaskan
definisi Sunnah untuk membedakannya dengan konsep hadits. Sunnah
menurutnya adalah “jalan yang ditempuh”, “prilaku yang dapat dijadikan
teladan”. Baginya Sunnah menunjukkan praktek actual
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
92
yang
melalui peneguhan yang lama, selama beberapa generasi berturut-turut
memperoleh status normative dan menjadi “Sunnah”. Sedangkan hadits
adalah istilah agama yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan dari
sunnah. Hadits secara harfiah berarti “tradisi” dan “tidak lain kecuali
sebuah refleksi dalam bentuk verbal”. Meskipun Rahman sependapat bahwa
menurut pengujian historis, sebagian besar hadits Nabi yang diterima
sebagai sumber otoritatif doktrin Islam kedua, dipalsukan oleh generasi
belakangan. Meski demikian, terlalu jauh untuk disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan intim antara hadits yang dihimpun belakangan dalam al-kutub
al-sittah dan hadits Nabi. Jelasnya, bahwa Rahman menolak tesis Schacht
bahwa hadits (sunnah) Nabi adalah buatan para ulama muslim abad kedua.
Adapun mengenai as-Syafi’i , walaupun,menurut Rahman, ia ahli hukum
pertama yang menuliskan dasar-dasar hukum – pada umumnya telah dianggap
berjasa meneguhkan kedudukan qiyas sebagai sebuah prinsip, namun caranya
merujuk kepada qiyas ini menunjukkan bahwa prinsip tersebut memang
sudah diterima umum. Menurut Rahman pada pertengahan abad ke 2 H,
sejumlah besar hadits, yang dinyatakan sebagai datang dari nabi, telah
muncul di arena. As-Syafi’I yang dipandang sebagai ahli hukum yang
pertama yang mengemukakan dasar-dasar hukum pada pertengahan abad ke-2
H, menyerang metodologi yang ada dan dengan semangat dan usaha yang
besar, menyerukan diterimanya materi hadits secara besar-besaran dalam
hukum. Programnya adalah menyerang doktrin ijma’ dari aliran-aliran
hukum yang ada dan membatasinya pada praktek-praktek dan
kewajiban-kewajiban agama yang mendasar saja. Dengan tindakannya itu’
as-Syafi’I mau menyingkirkan ‘sunnah yang hidup’, dan ijma’ telah
dijadikan benar-benar tak berdaya lagi, yakni telah ditekan pada
kewajiban-kewajiban agama yang umum dan essensial yang juga terkandung
dalam Sunnah verbal Hadits, maka ia akan mengisi seluruh kekosongan yang
ditinggalkannya dengan hadits. Dengan kata lain, hanya hadits sajalah
yang akan mewakili Sunnah, bukannya tradisi yang hidup atau ijma’. Hasil
yang sangat penting dari usaha ini akan berupa dilepaskannya qiyas atau
unsur penalaran dari kedudukan penenganya antara Qur’an dan Sunnah di
satu pihak dan Ijma’ dipihak lain. Menurut Rahman konsepsi as-Syafi’i
tentang ijma’ adalah konsep ‘peristiwa’ yang rapih dan teliti, kalau
bukan suatu lembaga, sedangkan konsepsi aliran-aliran yang lama tentang
ijma’ adalah sebagai suatu proses yang ilusif tetapi berpengaruh dari
kristalisasi dan stabilisasi opini secara perlahan-lahan. Ijtihad atau
Qiyas diletakkan di luar ijma’
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
93
D.
PENUTUPKritik-kritik yang dilontarkan baik oleh sarjana Barat maupun
sarjana Muslim, bukanlah berarti menghilangkah jasa Imam Syafi’i
terhadap pembentukan dan perkembangan hukum Islam. Tidak bisa dipungkiri
bahwa jasa imam Syafi’I terhadap pembentukan dan perkembangan hukum
Islam sangat besar, sehingga Schacht sendiri memberikan apresiasi
terhadap beliau, di mana dia mengatakan bahwa teori hukum Syfi’i lebih
logis dan konsisten secara forman dibandingkan teori hukum para
pendahulunya. Semoga makalah yang singkat ini dapat memberikan wawasan
tentang teori hukum Imam Syafi’i dan beberapa pandangan dari Sarjana
barat dan sarjana Muslim terhadap pemikiran imam Syafi’i.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 6 No.10 Oktober 2008
94
DAFTAR PUSTAKA
Rahman,
Fazlur, Islam, Jakarta:Pustaka,1984 ………………, Islamic Methodology in
History, Karachi, 1965 Schacht, Joseph, The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press,1959. Eksiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jakarta:PT.Ichtian Baru van Hoeve. Al-Syafi’i, Muhammad Idris,
al-Risalah Az-Zuhailiy, Wahbah, Ush al-Fiqh al-Islamiy, Beirut:Dar
al-Fikr,2001
0 komentar:
Posting Komentar