A. MUQADDIMAH
Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan
kenyamanan keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun”
yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu
digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga
dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk
tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.
Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama,
surah Al-Baqarah ayat 248.
Artinya : "Dan nabi
mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja,
ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan[1]
dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut
itu dibawa malaikat…". (QS. Al-Baqarah, 2 : 228)
Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa
ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat
ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu
sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan
sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.
Artinya : "Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang Telah ada". (QS. Al-Fath, 48 : 4)
Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan
yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini
merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu
melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan
sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi
orang lain.
Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata
“keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak
dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia
sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya
menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi
tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya,
dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam
masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar
kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah
karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami
tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri.
Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah.
Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga
yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak
jauh di bawah standar nyaman.
B. MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara
bersama-sama. Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang,
setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari
keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi
proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih
tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.
Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga.
Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan
rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema
keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman.
Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar
melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman
pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain
selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak
pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari
pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban
yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi
keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku
kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau
menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi
masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi,
memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya
menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa
menjadi tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang
mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu
datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang
satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun
berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan
pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar
menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah
rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas
cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat
sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang
di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik
bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga.
Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian
pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya
cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari
keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar
apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa
bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.
C. SUNNATULLAH DALAM BERUMAH TANGGA
Bahtera rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang
sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang
kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya.
Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan
masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang datang,
melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya hak
membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi
raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa
depan jiwa dan kepribadian mereka.
Menjadi keluarga sakinah, adalah hal yang diidamkan setiap
pasangan yang hendak membangun rumah tangga. Sesuatu yang tidak mudah, namun
tak mustahil untuk diwujudkan. Apa kuncinya?
Bahtera rumah tangga membutuhkan nakhoda yang mengerti tujuan
dan arah berlayar, diikuti para awak yang memiliki kesabaran yang tangguh dan
teruji, yang siap diatur oleh sang nakhoda. Sebagaimana bahtera yang mengarungi
samudra yang luas akan menghadapi arus dan gelombang yang menggunung, begitu
pula bahtera berumah tangga. Akan banyak ujian dan cobaan di dalamnya. Banyak
kerikil-kerikil tajam dan duri-duri yang menusuk peraduan.
Dahsyatnya ujian tersebut menyebabkan banyak bahtera rumah
tangga yang kandas dan tidak bisa berlabuh lagi, bahkan hancur
berkeping-keping. Sang istri ditelantarkan dengan tidak dididik, bahkan tidak
diberikan nafkah. Sehingga muncul awak-awak bahtera yang tidak taat kepada
nakhoda. Awak yang tidak mengerti tugas dan kewajibannya, berjalan sendiri dan
mencari kesenangan masing-masing. Inilah pertanda kecelakaan dan kehancuran.
Sang anak dibiarkan seakan-akan tidak memiliki ayah, sebagai seorang pemandu
dan pembela yang akan mengarahkan dan melindungi. Seakan-akan tidak memiliki
ibu, yang akan memberikan luapan kasih sayang dan perhatian yang dalam.
Masing-masing berjalan pada keinginan dan kehendaknya, tidak merasa adanya
keterikatan dengan yang lain. Sang nakhoda berjalan di atas dunianya, sang
istri dan sang anak di atas dunia yang lain. Saling tuduh dan saling vonis
serta saling mencurigai akan terus berkecamuk, berujung dengan perpisahan.
Akankah gambaran keluarga tersebut mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan
kebahagiaan? Bahkan itulah pertanda malapetaka yang besar dan dahsyat.
Memang problem dalam berumah tangga adalah sebuah suratan
taqdir yang mesti ada dan terjadi. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala
telah menurunkan syariat-Nya untuk membimbing ke jalan yang diridhai dan
dicintai-Nya. Jalan yang akan mengakhiri problem tersebut. Sebuah suratan yang
tidak akan berubah dan tidak akan dipengaruhi oleh keadaan apapun. Mungkin kita
akan menyangka, suratan taqdir tersebut tidak akan menimpa orang-orang yang
taat beribadah dan orang-orang mulia di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tentu tidak demikian keadaannya. Nabi Nuh ‘alaihissalam berseberangan
dengan istri dan anaknya. Nabi Luth ‘alaihissalam dengan istrinya yang
jelas-jelas mendukung perbuatan keji dan kotor: laki-laki “mendatangi”
laki-laki. Hal ini telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di
dalam firman-Nya:
Artinya : "Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai
perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua
orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu
berkhianat[2]
kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka
sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah
ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". (QS. At-Tahrim, 66 : 10)
Ujian dalam berumah tangga tentu akan lebih besar dibanding
ujian yang menimpa individu. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu
wa ta’ala dalam firman-Nya ketika menjelaskan tujuan ilmu sihir dipelajari
dan diajarkan:
Artinya : "..maka mereka
mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya[3]….".
(QS. Al-Baqarah,
2 : 102)
Rasulullah bersabda:
Artinya : “Sesungguhnya Iblis meletakkan
singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya. Yang paling
dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya. Datang
kepadanya seorang tentaranya lalu berkata: ‘Aku telah berbuat
demikian-demikian.’ Iblis berkata: ‘Engkau belum berbuat sesuatu.’ Dan kemudian
salah seorang dari mereka datang lalu berkata: ‘Aku tidak meninggalkan orang
tersebut bersama istrinya melainkan aku pecah belah keduanya.’ Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: ‘Lalu iblis mendekatkan prajurit itu kepadanya dan
berkata: ‘Sebaik-baik pasukan adalah kamu.’ Al-A’masy berkata: ‘Aku kira, (Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: ‘Lalu iblis memeluknya.”
(HR.
Muslim no. 5302)
Bila iblis telah berhasil menghancurkannya, kemana sang anak
mencari kasih sayang? Hidup akan terkatung-katung. Yang satu ingin
mengayominya, yang lain tidak merestuinya. Alangkah malang nasibmu, engkau
adalah bagian dari korban Iblis dan bala tentaranya.
Kalau demikian keras rencana busuk Iblis terhadap keluarga
orang-orang yang beriman, kita semestinya berusaha mencari jalan keluar dari
jeratan dan jaring yang dipasang oleh Iblis, yaitu dengan belajar ilmu agama.
Bahkan keluarga terbaik, mulia dan
dibangun oleh seorang terbaik, imam para nabi dan rasul, Muhammad bersama
Ummahatul Mukminin, juga tak lepas dari duri-duri dalam berumah tangga.
Rasulullah pernah marah kepada istri beliau ‘Aisyah dan Hafshah, sampai beliau
memberikan takhyir (pilihan) kepada keduanya dan kepada istri-istri beliau
yang lain: apakah tetap bersama beliau ataukah memilih dunia. Kemudian seluruh
istri beliau lebih memilih bersama beliau. (lihat secara detail
kisahnya dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim
no. 1479)
Cerita menantu Rasulullah, ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu
‘anhu bersama putri beliau Fathimah radhiyallahu ‘anha -dan kita
mengetahui kedudukan beliau berdua di dalam agama ini- juga tidak terlepas dari
kerikil-kerikil berumah tangga.
Telah diceritakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu
‘anhu, dia berkata: “Nama yang paling
disukai oleh ‘Ali adalah Abu Turab. Dia senang sekali dengan nama yang diberikan
oleh Rasulullah itu. Suatu hari, ‘Ali marah kepada Fathimah, lalu dia keluar
dari rumah menuju masjid dan berbaring di dalamnya. Bertepatan dengan kejadian
tersebut Rasulullah datang ke rumah putrinya, Fathimah, namun beliau tidak
mendapatkan ‘Ali di rumah. “Mana
anak pamanmu itu?”, tanya beliau. “Telah
terjadi sesuatu antara aku dan dia, dan dia marah padaku lalu keluar dari
rumah. Dia tidak tidur siang di sisiku,” jawab Fathimah. Rasulullah berkata
kepada seseorang: “Lihatlah di
mana Ali.” Orang yang disuruh
tersebut datang dan mengabarkan: “Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang
tidur.” Rasulullah mendatanginya, yang ketika itu ‘Ali sedang berbaring dan
beliau dapatkan rida`-nya (kain pakaian bagian atas) telah jatuh dari
punggungnya. Mulailah beliau mengusap pasir dari punggungnya seraya berkata: Duduklah wahai Abu Turab. Duduklah wahai Abu
Turab.” (HR. Al-Bukhari no. 3703 dan Muslim
no. 2409)
D. RASULULLAH SEBAGAI TELADAN DALAM BERUMAH TANGGA
Meniti jejak Rasulullah dalam kehidupan berumah tangga adalah
sebuah kewajiban bagi setiap muslim yang menginginkan kebahagiaan dalam berumah
tangga. Hal ini masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa ta’ala
di dalam Al-Qur`an:
Artinya : "Sesungguhnya
Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah". (QS. Al-Ahzaab,
33: 21)
Allah Subhanahu wa ta’ala telah bersumpah tentang
keagungan akhlak Rasulullah di dalam firman-Nya:
Artinya : "Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti
yang agung". (QS. Al-Qalam, 68: 4)
Rasulullah bersabda:
Artinya : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
budi pekerti yang mulia.” -Dan di dalam sebuah riwayat-: “Sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnakan kebagusan akhlak.” (HR. Al-Imam Ahmad
di dalam Musnad (2/318) dan Al-Imam Al-Bukhari
di dalam Al-Adab no. 273 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Artinya :“Rasulullah adalah orang yang paling bagus akhlaknya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 659 dari sahabat
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada
saudaranya tatkala datang berita diutusnya Rasulullah : “Pergilah engkau ke
lembah itu dan dengar apa ucapannya.” Kemudian dia kembali lalu menyampaikan:
Artinya :“Aku melihat dia memerintahkan
kepada budi pekerti yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 3861 dan Muslim
no. 2474)
Seseorang tidak akan menemukan kekecewaan bila dia menjadikan
Rasulullah sebagai suri teladan dalam semua tatanaan kehidupannya. Baik ketika
dia seorang diri, berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dia
akan berbahagia di saat banyak orang dirundung kesedihan. Dia akan tentram di
saat orang-orang dirundung kegelisahan. Dia akan terbimbing di saat semua orang
tersesat jalannya. Dia akan tabah dan sabar di saat orang lain gundah gulana.
Artinya :"Katakanlah: "Taat kepada Allah dan
taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul
itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya
kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (QS. An-Nur, 24: 54)
Hisyam bin ‘Amir berkata kepada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha: “Wahai Ummul Mukminin, beritahukan kepadaku tentang akhlak
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidakkah kamu membaca Al-Qur`an?” Hisyam bin
Amir berkata: “Iya.” ‘Aisyah berkata:
Artinya : “Akhlak Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah Al-Qur`an.” (HR.
Muslim no. 746)
Rasulullah dan Keluarga Beliau
Sungguh amat sangat menarik bila dikaji kehidupan Rasulullah
bersama istri-istri beliau. Sebuah kehidupan indah, yang mestinya ditulis
dengan tinta emas, dan telah diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
hingga hari kiamat. Sehingga setiap umat beliau yang kembali ke jalan As-Sunnah
akan mengetahui hal itu. “Indahnya hidup bersama Sunnah Rasulullah”, itulah
ucapan yang akan keluar dari orang yang telah mencium aroma As-Sunnah walaupun
sedikit. Mari kita menelaah beberapa riwayat tentang indahnya hidup Rasulullah
bersama keluarga beliau, yang semuanya itu merupakan buah dari akhlak yang
mulia dan agung.
Telah disebutkan di dalam kitab-kitab As-Sunnah seperti kitab
Shahih Al-Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Imam Muslim,
Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Ibnu
Majah, An-Nasa`i dan selain mereka. Lihat nukilan
beberapa riwayat dalam kitab Ash-Shahihul Musnad Min Syama`il
Muhammadiyyah. (1/384-420, karya Ummu Abdullah Al-Wadi’iyyah)
1. Rasulullah dan kelembutan beliau bersama
istri-istrinya.
Beliau tidur satu selimut, beliau mandi
berduaan dan mencium istrinya sekalipun dalam keadaan berpuasa, serta bercumbu
rayu sekalipun dalam keadaan haid, sebagaimana hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 1807)
dari Hafshah radhiyallahu ‘anha dan datang pula dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 1928) dan Muslim (no.
1851):
Artinya : “Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan
beliau berpuasa.”
Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha HR. Al-Imam
Al-Bukhari no. 322 dan Muslim 444) bercerita kepada Zainab putrinya, bahwa Rasulullah menciumnya
dalam keadaan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam berpuasa, dan beliau radhiyallahu ‘anha pernah
mandi bersama Rasulullah dari sebuah bejana dalam keadaan junub.
2. Rasulullah menyenangkan istrinya dengan
sesuatu yang bukan merupakan maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Aku melihat Rasulullah
menutupi aku dengan selendangnya, dan aku melihat kepada anak-anak Habasyah
yang sedang bermain di masjid hingga akulah yang bosan.” (HR.
Al-Bukhari)
3. Rasulullah Berbincang-bincang bila memiliki
kesempatan.
Sebagaimana dalam riwayat dari sahabat
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah shalat dalam keadaan duduk dan membaca dalam
keadaan duduk. Dan bila masih tersisa dalam bacaannya sekitar 30 atau 40 ayat,
beliau berdiri dan membacanya dalam keadaan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan
sujud. Dan beliau lakukan hal itu pada rakaat kedua bila beliau menunaikan
shalatnya. Jika aku bangun, beliau berbincang-bincang denganku dan bila aku
tidur beliau juga tidur.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba lari dengan istrinya.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha:
Artinya : “Tatkala dia bersama
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, dia berkata: ‘Aku
berlomba lari dengan beliau dan aku memenangkannya.’ Tatkala aku gemuk, aku
berlomba (lagi) dengan beliau dan beliau memenangkannya. Beliau berkata:
“Kemenangan ini sebagai balasan atas kemenanganmu yang lalu.” (HR. Abu Dawud,
7/423 dan Ahmad, 6/39)
5. Khidmat (pelayanan) Rasulullah
b dalam rumah tangga
Diriwayatkan dari
Aswad, dia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Apa yang diperbuat oleh Rasulullah di dalam rumahnya?” Dia berkata: “Beliau
selalu membantu keluarganya, dan bila datang panggilan shalat beliau keluar
menuju shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363
dan Ahmad, 6/49)
6. Rasulullah bersenda gurau dengan istrinya, dengan
menyebutkan satu sifat yang ada pada diri sang istri, sebagaimana riwayat dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. Al-Bukhari no. 5228 dan Muslim
no. 4469)
7. Rasulullah menyenangkan istrinya dengan cara minum dari
bekas mulut istrinya dan makan dari bekas tempat makan istrinya, sebagaimana
riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. (HR. Muslim
no. 300)
8. Rasulullah cemburu melebihi kecemburuan para
sahabat beliau.
Artinya : Sa’d bin ‘Ubadah
berkata: “Jika aku menjumpai seseorang bersama istriku niscaya aku akan
memenggalnya dengan pedang pada sisi yang tajam.” Sampailah ucapan itu kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda: “Apakah kalian heran
dengan kecemburuan Sa’d? Sungguh, aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih
cemburu dariku.”(HR.
Al-Bukhari no. 6846 dan Muslim no. 2754)
Beberapa contoh yang telah dilakukan oleh Rasulullah di atas
adalah sebagai aplikasi dari wujud taqarrub kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala, bukan semata-mata kebahagiaan dunia. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu
berkata: “Apabila seseorang mempergauli istrinya dengan
cara yang baik, janganlah semata-mata hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia
semata. Bahkan hendaknya dia berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan
melaksanakan apa yang diwajibkan atasnya. Masalah ini terlalaikan dari banyak
orang. Dia berniat hanya melanggengkan pergaulannya semata dan dia tidak
berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka
hendaklah setiap orang mengetahui bahwa dia sedang melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala: ‘Dan
pergaulilah mereka dengan cara yang baik’.” (Asy-Syarhul
Mumti’, 5/357)
E. BEBERAPA AKHLAK MENUJU KELUARGA SAKINAH
Setiap orang muslim meyakini tentang kedudukan akhlak dalam
kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Di sini, ada
beberapa akhlak dan adab yang harus ada pada suami-istri, yakni berupa hak di
antara keduanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
Artinya : "…..dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[4].
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah, 2 : 228)
1. Suami-istri bersifat amanah
Jangan sekali-kali salah satu dari keduanya
mengkhianati yang lain, karena mereka berdua tak ubahnya dua orang yang sedang
berserikat, sehingga dibutuhkan amanah, menerima nasihat, jujur dan ikhlas di
antara keduanya dalam segala kondisi.
2. Suami-istri saling berbagi kasih sayang
Sang istri menyayangi suami dan begitu juga
sebaliknya, sang suami menyayangi istrinya. Ini merupakan perwujudan firman
Allah Subhanahu wa ta’ala:
Artinya : " Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (QS. Ar-Rum, 30 : 21)
3.
Suami-istri senantiasa berusaha menumbuhkan
rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Jangan sekali-kali terkotori
dengan keraguan terhadap kejujuran, amanah, dan keikhlasannya.
4.
Suami-istri saling lemah lembut, wajah
yang selalu ceria, ucapan yang baik dan penuh penghargaan.
Hal ini masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu
wa ta’ala:
Artinya : "…..dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
(QS. An-Nisa,
4 : 19)TAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2008
[1] tabut
ialah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka.
[2] Maksudnya:
nabi-nabi sekalipun tidak dapat membela isteri-isterinya atas azab Allah
apabila mereka menentang agama.
[3] Berbacam-macam
sihir yang dikerjakan orang Yahudi, sampai kepada sihir untuk mencerai-beraikan
masyarakat seperti mencerai-beraikan suami isteri.
[4] hal Ini disebabkan
Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah
tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
0 komentar:
Posting Komentar