A.
Pendahuluan
Secara historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman Sahabat
Nabi Muhammad SAW. Dua aliran tersebut adalah Madrasat Al-Madinah dan Madrasat
Al-Baghdad atau Madrasat Al-Hadits dan Madrasat Al-Ra’yu.
Sedangkan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan sebagai Ahl Al-Zhahir
dan Ahl Al-Ma’n (Abdul Hakim, 2007 : 159)
Aliran Madinah terbentuk karena sebagian
sahabat tinggal di Madinah dan Aliran Kuffah juga terbentuk karena sebagian
sahabat tinggal di kota tersebut.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW
yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqoha sab’ah yang juga
mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat.
Diantara mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyab, salah satu murid beliau adalah
Ibnu Syihab Al-Zuhri yang mempunyai murid Imam Malik, pendiri aliran
Malikiyyah.
Atas jasa para sahabat yang tinggal
di Baghdad, terbentuklah aliran ra’yu. Diantara sahabat yang tinggal di
Kuffah adalah Abdullah bin Mas’ud, salah satu muridnya ialah Al-Aswad bin Yazid
Al-Nakha’I, salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil Al-Sya’bi; salah satu
murid beliau adalah Abu Hanifah yang mendirikan aliran Hanafiyyah. Salah satu
cirri fiqh Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits dan banyak
menggunakan ra’yu.
Murid Imam Malik dan Muhammad
Al-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris
Al-Syafi’i, pendiri aliran hukum yang dikenal sebagai aliran Syafi’iyyah. Imam
ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya
ia golongkan menjadi qaul qadim dan qaul jadid.
B.
Biografi Singkat
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin
Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
Adnan yang akrab dipanggil Imam Syafi'i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 -
Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga
pendiri mazhab Syafi'i.Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul Manafhttp://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Syafi'i). Dari ibunya,
beliau masih merupakan cicit Ali bin Abi Tholib. Kecerdasannya terlihat pada
usia 9 tahun, ia telah mengahafal Al-qur’an dengan lancar. Setahun kemudian, kitab Al-Mutawatho’ karangan imam
Malik yang berisi 1720 hadits juga dihafalnya. Banyak kitab karangannya, diantara
lain kitan ar-Risalah (Ushul Fiqh), kitab Al-Umm (Dedi Supriayadi, 2008 : 118).
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada
ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak,
untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana. Karena itu, Imam Syafi`i
mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i yang pertama namanya Qaul
Qadim dan Qaul Jadid.
C.
Sejarah
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman
pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks
hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau
ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul
Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur
Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan
aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua
kelompok tersebut. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut,
keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya
membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh
berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya (http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Syafi'i).
Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebarluaskan dan
mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:
1.
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
2.
Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
3.
Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan
pendiri fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i. Selain
itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut
menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain : Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa'I, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu
Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam as-Suyuti, Imam Ibnu
Katsir, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Hakim. Mazhab ini kebanyakan dianut para
penduduk Suriah, Malaysia, Indonesia, Brunei, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain (http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Syafi'i)
D.
Dasar-dasar Ijtihad
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah
dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i
menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan
hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok
ialah berpegang pada hal-hal berikut :
1.
Al-Quran, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang
dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari
alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2.
Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika
tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi’ilah yang meletakkan dasar
pertama tentang kaidah periwayatan hadits, dan ia pula yang mempertahankan
Sunnah melebihi gurunya. Menurutnya, hadits yang shohih sanadnya dan mustahil
(bersambung sanadnya) kepada Rosul SAW, maka sudah wajib diamalkan tanpa harus
dikaitkan dengan amalan ahl al-madinah dan tidak perlu ditentukan syaratyang
terlalu banyak dalam penerimaan hadits. Karena itulah beliau dijuluki sebagai
Nashirussunnah (Penolong Sunnah) (Huzaemah Tahodo Tanggo, 1997 : 124). Beliau
menempatkan As-Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an karena Sunnah itu menjelaskan
Al-Qur’an, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan Al-Qur’an dan hadits
mutawattir. Selain itu, keduanya juga merupakan wahyu (Huzaemah Tahodo Tanggo,
1997 : 128).
3.
Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak
terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Alasan beliau mengambil ijma
karena kesepakatan suatu hukum tidak semata-mata bersumber dari ra’yu karena
ra’yu akan selalu berbeda (Lahmuddin Nasution, 2001 : 89). Ijma' yang diterima
Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan
kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena
menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4.
Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad,
apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Qiyas digunakan
apabila tidak tegasnya hukum, pasti ada petunjuk ke arahnya. Qiyas ada dua tingkatan
yaitu, pertama, yang diqiyaskan tercakup pengertian ashal (kasus
pokok). Kedua, mempunyai kesamaan pada ashal yang paling mirip
(Lahmuddin Nasution, 2001 : 97).
E.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama
tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan
istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika pindah ke Mesir, ia
melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di
Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa
disebut dengan istilah Qaul Jadid (pendapat yang baru).
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul
qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok,
baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat
digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang
memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap
berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i. Perubahan hukum dari qaul qadim ke
qaul jadid dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :
1
Perbedaan ayat atau hadits yang digunakan sebagai
dalil. Misalnya air musta’mal, qaul qadim merujuk pada ayat 48 surat Al-Furqon
tetapi pada qaul jadid merujuk pada surat Al-Maidah ayat 6.
2
Cara pandang dalam memahami ayat ataupun hadits yang
sama. Missal hadits mngenai penarikat zakat, qaul qadim meniadakan kewajiban
zakat dari orang-orang yang berutang karena dipahami bahwa orang yang berutang
tidaklah termasuk orang kaya. Akan tetapi setelah diteliti ulang pada qaul jadid,
ternyata hidits itu tidak dinyatakan batas kekayaan sehingga tidak menunjukkan
orang berutang tidak kaya.
3
Perbedaan pandangan terhadap ijma’. Misalnya pada
masalah zakat zaitun, qaul qadim menganggap bahawa perintah Umar sebagai ijma’
karena tidak ada sahabat yang membantahnya, akan tetapi qaul jadid baranggapan
bahwa tidak adan bantahan bukan berarti sahabat sependapat tentang hukum
tersebut, melainkan sebatas kewajiban mamatuhi Umar yang mengeluarkan aturan
sesuai dengan hasil ijtihadnya selaku khalifah.
4
Perbedaan ashal atau ‘illat pada qiyas
yang digunakan, seperti pada qaul qadim menjadikan nikah sebagai ashal bagi
rujuk sehingga kesaksian diwajibkan pada rujuk seperti wajibnya nikah, tapi
qaul jadid rujuk diqiyaskan kepada jual beli dan kesaksian menjadi tidak wajib.
F. PENUTUP
Melalui pembahasan pada bab-bab diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Dalam penataan kaidah ijtihadnya, Al-Syafi’i menempuh
jalan tengah antara aliran Ahl Ra’yu dan Ahl Hadits dengan mengambil kelebihan
dan menolak kelemahan metodologis kedua aliran tersebut. Oleh karena itu, Imam
Syafi’I disebut Ulama moderat.
2.
Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang
menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah: Yusuf
bin Yahya al-Buwaiti (w. 846), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani
(w. 878), Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
3.
Bagi Al-Syafi’i yang dapat dijadikan sumber hukum hanyalah
Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan Qiyas
4.
Qaul qadim dan qaul jadid beliau dibedakan atas wilayah
tempat dikeluarkannya suatu fatwa, Baghdad dan Mesir. Perubahan tersebut terjadi
karena setiap kasus menurut ijtihadnya sendiri dan fatwa harus senantiasa baru
sesuai dengan hasil ijtihad terakhir.
5.
Perubahan qaul qadim ke qaul jaded disebabkan oleh
perbedaan ayat atau hadits yang digunakan sebagai dalil, cara pandang dalam
memahami ayat ataupun hadits yang sama, perbedaan pandangan terhadap ijma’, perbedaan
ashal atau ‘illat pada qiyas yang digunakan.
Daftar
Pustaka
1. Abdul
Hakim, Atang, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007
2. Nasution,
Lahmuddin, Pemberuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Bandung: PT.
remaja Rosdakarya, 2001
3. Suriayadi,
Dedi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka
Setia, 2008
4. Tahido
Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997
0 komentar:
Posting Komentar