(Tinjauan Terhadap Esensi, Eksistensi, Pelembagaan,
Pembaharuan, Pengembangan dan Prospek Penerapannya)
Oleh: M. Djamaluddin Miri*
A.
PENDAHULUAN
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan,
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".
Dari paragraph tersebut nampak jelas, bahwa Indonesia adalah merupakan Negara hukum, yang
berkeinginan untuk membentuk suatu hukum baru sesuai dengan kebangsaan Indonesia.
Sebagai perwujudan keinginan tersebut, maka diterbitkanlah UU No. 1
tahun 1946, yang walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang
Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak mendapatkan sorotan,[1]
namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yang berdaulat
meskipun masih dalam hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat dengan
hukum Belanda yang telah ratusan tahun melekat dalam peri kehidupan bangsa
Indonesia itu karenanya bisa dimaklumi.
|
Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah
"Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yang sejak tahun 1974
kemudian dirubah menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).
Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yang berlaku sampai akhir
tahun 1958, LPHN secara langsung berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri.
Namun sejak kembali ke UUD-45 dan kemudian diperkuat oleh Keputusan Presiden RI
No. 45/1974, kedudukan LPHN yang kemudian berubah menjadi BPHN itu menjadi
setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.
Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III
(1979-1984), BPHN telah ikut aktif dalam pembuatan peta hukum nasional, yang sampai
tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.
Usaha untuk mewujudkan hukum baru nasional itu tetap berlangsung,
walaupun berbagai kendala sejak semula juga terus menghadang, tidak hanya oleh
penganut teori resepsi,[2]
yang masih banyak bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yang
berasal dari kalangan perguruan tinggi hukum positif yang tidak menginginkan
dominasi hukum Islam[3]
dalam hukum nasional, tetapi juga oleh kalangan ulama Islam sendiri yang masih
memahami hukum Islam secara sepotong-potong dan terjebak dalam kerangka
fanatisme mazhab yang sempit, sehingga kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai
pertikaian antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran untuk
melaksanakan hukum Islam itu dalam realitas kehidupan umat.
Tulisan ini akan mencoba untuk menggunakan kontribusi dan prospek
hukum Islam terhadap pembinaan hukum nasional di Indonesia,[4]
meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi hukum Islam, 2)
Pelembagaan, pembaharuan dan pengembangan hukum Islam, 3) Prospek penerapan hukum
Islam di Indonesia.
B.
ESENSI
DAN EKSISTENSI HUKUM ISLAM
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini
oleh masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Hal ini berarti, bahwa muatan hukum itu seharusnya mampu menangkap
aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian,
namun juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan
politik di masa depan.[5]
Dengan demikian, hukum itu tidak hanya sebagai norma statis yang
hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun juga berkemampuan untuk mendinamisasikan
pemikiran serta merekayasa perilaku masyarakat dalam menggapai cita-cita.
Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan untuk
mendasari dan mengarahkan berbagai perubahan sosial masyarakat.
Hal ini mengingat,
bahwa hukum Islam[6]
itu mengandung dua dimensi:
- Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia.
- Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqhi.[8]
Dalam pengertiannya yang kedua inilah, yang kemudian memberikan
kemungkinan epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam
dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda,[9]
sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi.
Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah sejak lama memperoleh tempat
yang layak dalam kehidupan masyarakat seiring dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi Negara.[10]
Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil
mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tersebut, maka sedikit demi
sedikit hukum Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yang tertinggal-selain
ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk,
waris) dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya.[11]
Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah
tidak seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam tidak pernah mati
dan bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam dalam sistem politik apapun,
baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta sampai masa kini.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu[12]
kemudian dibagi menjadi dua:
- Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yang berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya.
- Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan dengan aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang pidana[13] sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan), yang telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.
Meskipun keduanya (hukum normative dan yuridis formal) masih
mendapatkan perbedaan dalam pemberlakuannya, namun keduanya itu sebenarnya
dapat terlaksana secara serentak di Indonesia sesuai dengan UUD 45
pasal 29 ayat 2.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam
Indonesia adalah hukum-hukum Islam yang hidup[14]
dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat normatif maupun yuridis formal,
yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.
Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yang sebagian daripadanya
telah terpaparkan pada uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui
pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]
Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi
empat periode,[16]
dua periode sebelum kemerdekaan, dan dua lagi pasca kemerdekaan.
1. Dua periode pertama, dapat
dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.
Fase
berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception
in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat
Islam[17]
berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda
masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.
Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah
kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda
secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam
dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), tetapi juga menggantikan
kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau
sultan Islam dengan peradilan buatan Belanda.[18]
Keberadaan hukum Islam[19]
di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda setelah dicabutnya Compendium
Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir dengan staatstabled
1913 No. 354.
Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan
Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka
dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[20]
2. Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima
oleh hukum adat. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang
pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C. Van Den Breg itu[21]
kemudian digantikan oleh teori Receptio yang dikemukakan oleh Cristian
Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22]
sebagai penggagas pertama.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio,
pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van
Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus
membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang
menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan
bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam
pasal 134 ayat 2 dinyatakan:
"Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila
hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu
ordonansi".[23]
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum
diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan
Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam
masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke
Pengadilan Negeri.[24]
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala
peraturan yang meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan
system dan kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah
mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat
ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak seperti hukum Islam, sehingga
dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran
sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral
umat Islam Indonesia
sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.
2. Dua periode kedua, yakni
setelah kemerdekaan dapat dibagi pula ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.
Hukum
Islam sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut dengan persuasisive
source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya setelah
diyakini.
b.
Hukum
Islam sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal dengan outheriotative
source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.
Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan
sebagai sumber persuasuf UUD-45.[25]
Namun setelah Dekrit yang mengakui bahwa Piagam itu menjiwai UUD-45, berubah menjadi
sumber otoritatif.
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang
dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat penting
bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Bangsa Indonesia
yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti system hukum Belanda mulai
berusaha untuk melepaskan diri dan berupaya untuk menggali hukum secara
mandiri.
Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana
perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yang telah lama
melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan
upaya persuasif dan harus dilakukan secara terus menerus, simultan dan sistematis.
Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum Islam
adalah pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26]
yang berarti menolak teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah
colonial Belanda sebelumnya.
Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh
Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan
teori iblis karena
mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan
Rasul-Nya.[27]
Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan setelah
lahirnya teori Receptio a Canirario yang memberlakukan hukum kebalikan
dari Receptio, yakni bahwa hukum adat itu baru dapat diberlakukan jika
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka hukum
Islam jadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perkembangan hukum
Islam di Indonesia telah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa
suram akibat politik kolonial Belanda, 3. Masa pencerahan dengan menjadikan
hukum Islam sebagai salah satu alternative utama yang dipercaya oleh pemerintah
RI dalam upaya menciptakan hukum nasional.
C.
PELEMBAGAAN,
PEMBAHARUAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM
Diantara wujud kontribusi hukum Islam, setidak-tidaknya dalam aspek
penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata karena bidang pidana untuk
saat ini masih belum memungkinkan) terhadap hukum nasional adalah.[28]
UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan
kehakiman pada pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan
Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta
terunifikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi
undang-undang tertulis dan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Namun
demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yang hanya berlaku
khusus bagi masyarakat Islam saja.
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini telah
terlahirkan setelah melalui berbagai perjuangan yang panjang nan sulit penuh
liku dalam tiga zaman: zaman Kolonial Belanda,[29]
zaman pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan.
Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan
Agama dan Kementerian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan
Pemerintah No. 5/SD/1946[30]
kemudian setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui
Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk
tetap memberlakukan Peradilan Agama.
Sebagai tindak lanjut dari penegasan tersebut, setidak-tidaknya
telah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan
Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang
Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 dan 639 tentang Peradilan
Agama di Kalimantan Selatan.
Selanjutnya dengan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih
mempertegas keberadaan lembaga Peradilan Agama dalam system pengadilan
nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yang
telah ada sebelumnya.
Pembaharuan hukum
Islam di Indonesia.
Istilah pembaharuan merupakan terjemahan dari bahasa Arab, Tajdid
yang dalam istilah Indonesia
dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.
Dalam masyarakat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran,
gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adpat istiadat, insitusi-institusi
lama, dan sebaginya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.[31]
Sedangkan dalam pemikiran Islam, masalah tajdid itu muncul
terutama setelah Islam sebagai agama dan sekaligus tradisi akbar, berhadapan
dengan berbagai budaya local, berbagai faham non Islam dan aneka bentuk
pemerintahan yang ada, baik di dunia Timur maupun Barat.[32]
Dalam bidang hukum Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid
yang dimaksud bisa berbentuk pikiran atau gerakan (dalam bidang hukum Islam)
yang ingin merubah faham atau fikiran lama yang bersumber dari ketentuan yang
bersifat zanni (aspek muamalat) yang bukan yang bersifat qath'i
untuk disesuaikan dengan tuntutan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan
zaman dan budaya lokal di Indonesia, dalam rangka pembangunan, pembinaan dan
pembentukan hukum nasional.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1
Tahun 1991[33]
yang berisikan rangkuman berbagai pendapat hukum dari kitab-kitab fiqhi
untuk dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim agama dalam mengambil
keputusan,[34]
dan kemudian disusun secara sistematis menyerupai kitab perundang-undangan,
terdiri dari bab-bab dan pasal-pasal, adalah merupakan salah satu kontribusi
pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
Disebut sebagai pembaharuan, karena di satu sisi gagasan keberadaan
KHI tersebut tidak pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi
perbandingan mazhab sudah lama dikenal), juga beberapa materi muatannya memang
termasuk baru, khususnya bagi masyarakat Islam Indonesia, seperti ahli waris
pengganti, pelarangan perkawinan berbeda agama, dan sebagainya.
Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya adalah
UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama, dan PP No. 28 tentang Wakaf tanah
milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam tata
hukum nasional.
Dengan telah adanya berbagai pembaharuan tersebut, maka sangat
dimungkinkan hukum Islam di Indonesia kemudian berkembang sesuai dan seiring
dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan
teknologi informasi seringkali dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai yang
semula dianggap sudah sangat mapan.
Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut
dan sekaligus mencari solusi dan
pemecahan yang tepat, maka tidak mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis
of relevance)[35]
dan akihrnya tersisihkan serta ditinggalkan orang.[36]
Kebangkitan baru intelektualisme Islam untuk melakukan pembaharuan
itu ditandai dengan munculnya berbagai pemikiran keislaman yang memberikan
formulasi, interpretasi dan refleksi terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan
dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang hukum saja, namun juga dalam bidang
yang lain: politik, budaya dan sebagainya).
Namun demikian, sejarah sering menyajikan fakta yang cukup menyedihkan
tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik di Indonesia maupun di tempat lain.[37]
Penyebabnya cukup variatif, diantaranya adalah penafsiran pembaharuan itu
dengan istilah yang provokatif, yang dengan konotasi tertentu dapat menimbulkan
kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap oleh sebagian
orang sebagai upaya menggugat keabsahan sumber ajaran Islam yang telah diyakini
sudah sangat benar dan mapan.
Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam di masa depan sangat
tergantung pada kecakapan para intelektualnya dalam menghadapi, mengerti dan
memecahkan berbagai persoalan yang baru.[38]
Namun kenyataan menunjukkan, bahwa masih ada sebagian umat Islam,
bahkan dari kalangan intelektual yang masih bersikukuh mempertahankan
intepretasi ajaran lama dan tidak terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.
Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang hukum Islam adalah
penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin
dengan mazhab Nasional[39]
dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40]
Penentangan itu bukan hanya dari kalangan awam, namun yang sangat keras justru
dari pada cendekiawan, seperti Ali Yafie[41]
walaupun belakangan nampak adanya kecenderungan untuk mendukungnya.[42]
D.
PROSPEK
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Dalam membicarakan prospek hukum Islam di Indonesia, setidaknya ada
dua aspek yang perlu untuk dikedepankan:
1.
Aspek
kekuatan dan peluang. Keduanya berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam yang
berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2.
Aspek
kelemahan dan hambatan. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum di Indonesia yang menjadi kendala bagi prospek
penerapan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia.
Adapun aspek
kekuatan[43]
a.
Al-Qur'an
dan hadits, yang selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat
aturan-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata maupun pidana.
Ketiga esensi ajaran
ini telah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam Islam. Ketiganya
bagaikan segi tiga sama kaki yang saling mendukung yang daripadanya kemudian
lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas dan tujuan-tujuannya.[44]
b.
Syareat
Islam datang untuk kebaikan manusia semata, sesuai dengan fitrah dan kodratnya
yang karenanya sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan
yang merusak.[45]
Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai dengan
kebutuhan normal manusia, kapan pun dan di man apun sebab syareat Islam dibangun
di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sehingga akan tetap diminati.
c.
Dalam
sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum
nasional merupakan perjuangan eksistensi, yang merumuskan keadaan hukum
nasional Indonesia pada masa lalu, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam
itu ada di dalam hukum nasional, baik dalam hukum tertulis maupun tidak
tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum.[46]
d.
Telah
terwujudnya kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional, baik dalam bentuk UU
maupun IP,[47]
merupakan bukti nyata tentang kekuatan dan kemampuan hukum Islam dalam
berintegrasi dengan hukum nasional.
Aspek-aspek kekuatan tersebut akan semakin eksis dengan
memperhatikan beberapa aspek pendukung sebagai berikut:
- Pancasila, yang tertuang dalam Pembukaan UUD-45 sebagai dasar Negara, yang sila-silanya merupakan norma dasar dan norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] telah mendudukkan agama (terutama pada sila pertama) pada posisi yang sangat fundamental, serta memasukkan ajaran dan hukumnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis hubungan Pancasila
dengan agama sangat erat, karena menempatkannya pada posisi sentral, pertama
dan utama.
Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yang merupakan agama
anutan mayoritas penduduk Indonesia,
diberi dan memiliki peluang besar untuk mewarnai hukum nasional.
- Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan:
"…berfungsinya system hukum yang mantap, bersumberkan Pancasila
dan UUD 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin
kepastian, ketertiban…".[49]
Dari muatan GBHN tersebut, tampak jelas adanya peluang hukum Islam
untuk ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa
hukum Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang
mampu menjamin kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya
sebagaimana yang diinginkan oleh hukum itu sendiri. Semua itu terjadi karena
hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana telah dipaparkan di atas,
sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.
Dengan memperhatikan berbagai aspek tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa prospek hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional sangat
cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa ada kelemahan dan kendala
sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.
Diantara kelemahan dan kendala itu[50]
adalah:
- Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, agama dan kepercayaan. Di samping itu, dalam masyarakat Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai kondisi yang saling berbeda yang menyebabkan upaya pengintegrasiannya ke dalam hukum nasional harus dipilih, mana yang sudah bisa diunifikasikan dan yang belum bisa.
- Bagi masyarakat non Islam, sangat dimengerti jika kemudian tidak senang terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam pada hukum nasional, sementara pemerintah sendiri nampaknya belum mempunyai kemauan politik yang kuat untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat trauma masa lalu oleh adanya kelompok ekstrim Islam dengan cara kekerasan (seperti DI/TII) dan terakhir oleh kelompok Imam Samudra dan Amrozi sehingga mengakibatkan kekacauan berkepanjangan.
- Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali di NAD berdasarkan otonomi khsusus yang masih dalam taraf uji-coba dan nampak masih setengah hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), dan diperparah dengan masih dianutnya kebijaksanaan tentang hukum colonial yang dilanjutkan di dalam Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yang memperbolehkan umat Islam untuk memilih antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum.
- Lemahnya pemahaman dan penguasaan hukum Islam, bahkan di kalangan cendikiawan muslim sendiri disebabkan oleh banyak faktor, seperti melemahnya penguasaan bahasa Arab dan metode istinbat, sementara hukum Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik harus berhadapan dengan berbagai kasus baru yang sangat memerlukan ijtihad baru, selain karena sudah tidak terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia).
Untuk menanggulangi berbagai hambatan dan kendala di atas, maka
beberapa solusi[51]
kemungkinan dapat dipertimbangkan, antara lain:
1)
Mengadakan
pembaharuan yang radikal terhadap pendidikan hukum, baik dalam hukum Islam
maupun hukum umum yang mencakup pola dan kurikulum, sehingga dapat mencetak
para sarjana hukum yang handal, produktif, responsif dan antisipatif terhadap
perkembangan sosial masyarakat.
2)
Mewujudkan
integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah sebagai Pembina hukum Islam
dengan fakultas hukum umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3)
Menggalakkan
dialog, seminar dan sejenisnya antara pakar hukum Islam dengan sesamanya, dan
dengan pakar hukum umum untuk menemukan kesamaan visi dan persepsi dalam rangka
membangun hukum nasional.
E.
PENUTUP
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
prospek penerapan hukum Islam di Indonesia cukup cerah.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai kenyataan positif,
antara lain:
1.
Berbagai
kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah selaku penyelenggara Negara yang memberi
peluang bagi berperannya hukum Islam.
2.
Telah
terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum Islam
menjadi lebih eksis sebagai sub system dalam system hukum nasional.
3.
Adanya
upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam
melalui dakwah dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan
kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan secara hukum secara maksimal.
Sekian semoga bermanfaat bagi semuanya, jazakumullah khairal
jaza.
DAFTAR P USTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: Akademi Pressindo, 1992).
Ahmad, Amrullah dkk, Bustanul Arifin
Pemikiran dan Peranannya dalam Pelembagaan Hukum Islam dalam Prospek Hukum
Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta
PP-IKAHA, 1994)
Ali, Muhammad Daud, Penerapan Hukum
Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada Pendidikan
Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.
_________________, Kedudukan Hukum
Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984).
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan
Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Cet V; Bandung:
Mizan, 1994)
Ash-Ashiddieqy, Hasbi, Falsafah Hukum
Islam, (Cet III; Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
Daliyo JB, dkk, Pengantar Ilmu Hukum
(Jakarta: Gramedia, 1992)
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad
Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1995)
Djatmika, Rahmat, Jalan Mencari Hukum
Islam, Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, dalam Prospek Hukum
Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta:
PP-IKAHA, 1994)
Khallaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul
al-Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978)
Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal,
Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987)
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam,
(Jakarta: Tintamas, 1976)
______, Tujuh Serangkai Tentang Hukum
(Jakarta: Tintamas, 1971)
Hutagalung, Mura, Hukum Islam dalam Era
Pembangunan (Cet I; Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985)
Ichjianto, Pengembangan Teori
Berlakunya Hukum di Indonesia dalam buku Hukum Islam di Indonesia,
Tjun Surjaman (ed), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991)
Majlis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, Garis-Garis Haluan Negara Republik
Indonesia, 1993-1998, (Surabaya:
Bina Pustaka Tama, tt)
Munir A. dan Sudarsono, Aliran Modern
dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994)
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
Notosusanto, Organisasi dan
Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Gajah Mada, 1963)
Rasdiyanah, Andi, Kontribusi Hukum
Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah Disampaikan pada upacara
Pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum Islam Terhadap
Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, UII-Yogyakarta,
2 Desember 1995.
_____________, Problematika dan Kendala
yang Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional,
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Tentang Kontribusi Hukum Islam dan
Pembinaan Hukum Nasional Setelah Limapuluh Tahun Indonesia Merdeka. Ujung Pandang, 1-2 Maret
1996.
Raharjo, Satjipto, Tinjauan Kritis
Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, dalam Analisis CSIS, No. 1
Januari-Pebruari 1993.
Syatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syariah, Jilid II, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt)
Sudrajat, Ajat, Politik Islam,
Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1977)
Syaczali, Munawir, Islam dan Tata
Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1991)
Salim, Muin, Konstitusionalisasi Hukum
Islam di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Kongres I
Forum Komunikasi Mahasiswa Syariat se-Indonesia, Ujungpandang, 13-15 Juli 1995.
Suny, Ismail, Kedudukan Hukum Islam
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Hukum Prospek Hukum Islam
dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia.
Shihab, Umar, Aspek Kelembagaan Hukum
dan Perundang-undangan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Kontribusi
Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah Lima Puluh Tahun Indonesia
Merdeka, Ujungpandang, 1-2 Maret 1996.
Speyoeti, Zarkowi, Kontribusi Hukum
Islam Terhadap Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Konsep
Keadilan dalam Perspektif Hukum, IAIN Sunan Ampel Gunungjati-Bandung, 16
Mei 1994.
Shiddieqy, Nouruzzaman, Jeram-Jeram
Peradaban Muslim (Cet I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Umar, Nasaruddin, Konstitusionalisasi
Hukum Islam di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan
Kongres I Forum Komunikasi Mahasiswa Syariah se-Indonesia, Ujungpandang,
13-15 Juli 1995.
Rais, Amin, Cakrawala Islam, Antara
Cita dan Fakta (Cet VIII, Bandung: Mizan, 1996)
Praja Juhana S. Hukum Islam, Pemikiran
dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia
(Cet I; Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
Wahid, Abdurrahman, Kontroversi
Pemikiran Islam di Indonesia (Cet I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991)
Yafie Ali, Matarantai yang Hilang,
dalam Pesantren No. 2 Vol II, 1985.
_______, Menggagas Fiqhi Indonesia
(Cet I; Bandung: Mizan, 1994)
Hukum ISLAM DI INDONESIA
(Tinjauan
Terhadap Esensi, Eksistensi, Pelembagaan, Pembaharuan, Pengembangan dan Prospek
Penerapannya)
makalah
Disampaikan
Pada Diskusi Ilmiah Yang diselenggarakan Oleh Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama Republik indonesia
Di The
SUN Hotel Jl. Pahlawan No. 1 Sidoarjo
Pada
Tanggal 18 – 20 Februari 2010
Oleh :
M. Djamaluddin Miri
MAHAD ALI HASYIM ASY'ARI
PONDOK PESANTREN TEBU
IRENG
JOMBANG
2010
[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis
Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia,
dalam Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu
bukan "hukum" dan tidak bisa menjadi "hukum" jika belum
diresapi oleh hukum adat. Walaupun sejak pemberlakuan UU Perkawinan pada 1
Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mati, namun
arwah dan semangatnya ternyata masih melekat dalam benak sebagian sarjana hukum
Indonesia.
Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu sudah eksis
sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara
pada masa kesultanan Islam Indonesia.
Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia,
dalam Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,
(Bandung,
Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub
system hukum nasional di Indonesia di samping sub system hukum Barat dan hukum
adat, keberadaannya sudah menjadi autoritive source sejak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…,
h. xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966),
h. ix
[6] Hukum Islam merupakan koleksi daya
upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum
dan khusus. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan dan Islam termasuk
pengetahuan tentang ketuhanan. Dalam pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan
dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an
dan sunnah dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqhi), Lihat:
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…, h. vii
[8] Fiqhi adalah hukum syara' yang bersifat
praktis diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf,
Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam dalam
Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum
Islam dalam Negara Republik Indonesia,
Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei
1995.
[13] Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan
umum, yang menyebabkan pelakunya dapat diancam dengan hukuman tertentu dan
merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, hukum yang diterima dan
digunakan secara nyata dalam kehidupan umat, atau yang tersosialisasikan dan
diterima masyarakat secara persuasive, karena dianggap telah sesuai dengan
kesadaran hukum dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana
Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tersebut,
selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori
Berlakunya hukum Islam di Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di
Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam buku Prospek Hukum Islam
dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam
dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, hukum Islam diakui sebagai
otoritas hukum, namun demikian keberadaan dan bentuknya masih sama dengan hukum
adat yang tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan.
Dan yang ada hanyalah kitab-kitab fiqhi yang masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam
dalam berbagai macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i.
Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran
Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di
Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan
dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung:
Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan
Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi
Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[24] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi
Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada,
1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph pada UUD-45 yang
kemudian menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI dengan
rumusan dalam Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an menjadi penggagas
pertama fiqhi Indonesia
menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam,
(Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika dan
Kendala yang Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum
Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Konstribusi
Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di
Ujung Pandang tanggal 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek
Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar
yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim
sebagai lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana dengan tokoh
agama sebagai hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[31] Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam. Sejarah Pemikiran dan Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.
11
[33] Karenanya, dari segi kedudukan belum
menjadi UU bukan hukum tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan
pemerintah, bukan Kepres, dan seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan
Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan dari Sudut
Perundang-Undangan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul
akibat pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat:
Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. x.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert
Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia
Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu antara lain Muhammad Abduh
dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman di Pakistan dan Nurcholis
Madjid di Indonesia, yang dianggap terlalu liberal, elitis dan tidak membumi,
serta terlepas dari realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991),
h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernisasi: Studi Atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105;
Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization
(terj) oleh Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h.
150-151.
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam,
Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram
Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum
Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat
fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum
Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, dalam Aspek Hukum
Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta:
FP-IKAHA, 1994), h. 146-157
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin
Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. 2:
195
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991
tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta UU No. 7 1992 tentang Bank
(Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum
Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada
upacara pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum Islam Terhadap
Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara
Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya:
Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut tentang aspek
kelemahan dan kendala tersebut, dapat dilihat dalam: Andi Rasdiyanah, Problematika
dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam
di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Kongres I
Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, tanggal 13 Juli 1996, di Ujung
Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi di atas,
bandingkan dengan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam
di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di
Indonesia, h. 11-12.
0 komentar:
Posting Komentar