BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum
utama sesudah al-Qur'an. Keberadaan Al-Hadits merupakan realitas nyata dari
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah
sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam
risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah
penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Dari abad ke abad ilmu yang
mempelajari tentang Al-Hadits perkembangannya begitu signifikan dan banyak para
perawi yang meriwayatkan hadits dan juga banyak kitab-kitab yang ditulis oleh
para ulama tentang Al-Hadits atau bisa juga disebut dengan Ulumul Hadits
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang melatar belakangi munculnya usaha pembukuan hadist ?
2. Siapa pelopor gerakan pembukuan hadist dan kitab-kitab hadist abad
II hijriah?
3. Bagaiman kitab-kitab ulumul hadits abad pertengahan ?
4. Apa kegiatan periwayatan hadist pada abad pertengahan ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
yang melatar belakangi munculnya usaha pembukuan hadist.
2.
Mengetahui
pelopor gerakan pembukuan hadist dan kitab-kitab hadist abad II hijriah.
3.
Mengetahui
kitab-kitab ulumul hadits abad pertengahan.
4.
Mengetahui
kegiatan periwayatan hadist pada abad pertengahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu hadits menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki memiliki 3
kandungan defenisi yaitu :
1.
Penukilan
riwayat yang disandarkan kepada Rasul SAW dari pernyataan yang dikatakan oleh
beliau, perbuatan yang dikerjakannya, atau persetujuannya, atau sifat-sifatnya.
Yakni, semua tentang diri beliau dan sejarahnya baik sebelum atau sesudah
kerasulan. Termasuk apa yang dinukil dari sahabat dan tabi’in. Ilmu hadits
kategori ini disebut, “Ilmu Riwayah al-Hadits.”
2.
Metode
atau jalan yang digunakan dalam sampainya hadits-hadits dari sisi keadaan para
perawi, kekuatan hafalan dan keadilannya, atau dari sisi sanad, apakah ia
muttasil atau munqati’. Kategori ini dikenal dengan istilah “ilmu Ushul
al-Hadits”.
3.
Pembahasan
pada pemahaman makna atau mafhum ma’na dari lafazh-lafazh hadits, maksudnya
berdasarkan kaidah bahasa Arab dan ketentuan syariat dan disesuaikan dengan
prilaku Nabi SAW.
Perkembangan ulumul hadits dari masa ke masa mengalami perubahan
demi perubahan. Kalau boleh dikatakan berevolusi sesuai masa. Sebuah karya pada
masa tertentu dikritisi, ditambahkan, dan dilengkapi pada masa berikutnya. Hal
semacam ini sangat lumrah dalam bidang ulumul hadits, bahkan dalam segala
disiplin ilmu manapun. Hasilnya, setiap karya dalam satu kurun/masa akan
dilengkapi dan disempurnakan pada masa berikutnya.
A.
Latar Belakang Munculnya Usaha Pembukuan Hadist
Pada abad
pertama Hijriah sampai hingga akhir abad petama Hijriah, hadist-hadist itu
berpindah dari mulut kemulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan
kepada kekuatan hafalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat
untuk membukukan hadist, karna hafalan mereka terkenal kuat. Namun demikian,
upaya perubahan dari hafalan menjadi tulisan sebenarnya sudah bekembang disaat
masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada masa Umar Bin Khattab menjadi Khalifah ke-2
juga merencanakan meghimpun hadist-hadist Rasul dalam satu kitab, namun tidak
diketahui mengapa niat itu batal atau urung dilaksanakan.
Dikala kendali Khalifah dipegang
oleh Umar Bin Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 Hijriah, seorang
khalifah dari Dinasti Umaiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau
dikenal sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima, tergerak hatinya membukukan
hadist karna diakhawatir para perawi yang membendaharakan hadist didalam
dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak dibukukan akan lenyap dan dibawa
oleh para penghafalnya kedalam alam barzah dan juga semakin banyak kegiatan
pemalsuan hadist yang dilakukan yang dilatar
belakangi oleh perbedaan politik dan perbedaan mazhab dikalangan umat
islam dan semakin luasnya daerah kekuasaan islam maka semakin komplek juga
permasalahan yang dihadapi umat islam.
B.
Pelopor Gerakan Pembukuan Hadist Dan Kitab-Kitab Hadist Abad II
Hijriah.
1.
Penulisan
Hadist.
Sejarah penghimpunan hadist secara resmi dan massal baru terjadi setelah
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh
masyarakat untuk menuliskannya. Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan
kepala negara dan dikatakan massal karena perintah diberikan kepada para
gubernur dan ahli hadist. Diantara gubernur madinah yang menerima instruksi
untuk mengumpulkan dan menuliskan hadist yaitu Abu Bakar ibn Hazm, Umar Bin
Abdul Azis berkata kepada Hazm :“Perhatikanlah apa yang bisa diambil dari
hadist Rasulullah dan catatlah, saya khawatir akan lenyapnya ilmu ini setelah
ulama wafat”[1]
dan dalam intruksi tersebut Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk
menuliskan dan menuliskan hadist yang berasal dari :
a.
Koleksi
Ibn Hazm itu sendiri.
b.
Amrah
binti Abd. Ar-Rahman (w.98 H), seorang faqih, dan muridnya syaidah Aisyah R.A.
c.
Al
Qasim Ibn Abu.Bakar Al Siddiq(w.107 H) seorang pemuka tabi’in dan salah seorang
Fuqaha yang tujuh. Ibn Hasim melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa
juga dilaksanakan oleh Muhammad Ibn Syiihab Al– Zuhri. (w.124 H), seorang ulama
besar di Hijasz dan Syam, kedua ulama diataslah sebagai pelopor dalam
kodifikasi hadist berdasarkan perintah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Meskipun
Ibn Hazm dan Al Zuhri telah berhasil menghimpun dan membukukan hadist, akan
tetapi kerja kedua ulama tersebut telah hilang dan tidak bisa dijumpai lagi
sampai sekarang.
2.
Sistem
Pembukuan Hadist
Sistem pembukuan Hadist
pada awal pembukuannya agaknya hanya sekedar mengumpulkan saja tanpa memperdulikan
selektifitas terhadap susunan Hadist Nabi, apakah termasuk didalamnya
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in,“Ulama diperiode ini cendrung mencampur adukkan
antara hadist Nabi dengan Fatwa Sahabat dan Tabi’in, mereka belum mengklasifikasikan
kandungan nash-nash menurut kelompoknya”[2]
Dengan demikian
pembukuan hadist pada masa ini boleh dikatakan cendrung masih bercampur baur
antara hadist dengan fatwa sahabat dantabi’in.
3.
Tokoh-Tokoh
Pengumpul Hadist
Setelah periode Abu bakar bin Hazm dan ibnu Shihab Al Zuhri, perode
sesudahnya bermunculan ahli hadist yang bertugas sebagai kodifikasi hadist
jilid ke-2 yaitu:
a.
Di
Mekkah, Ibn Jurraj (w.150 H).
b.
Di
Madinah, Abu Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H)
c.
Di
Basrah, Ar Rabi’ Ibn Shahih (w.160 H), Said Bin abi Arubah(w.156 H) dan Hamud
bin Salamah (w. 176 H).
d.
Di
Kufah, Sofyan Tsauri (w.161 H).
e.
Di
Syam/ Sriya, Al Auza’I (w.156 H).
f.
Di
Wasith/Iraq , Hasyim (w.188 H).
g.
Di
yaman, Ma’mar (w.153 H).
h.
Di
khurasan/ Iran, jarir Bin Abdul Namid (w.188 H dan IbnuMubarrak (w.181 H).
C.
Kitab-kitab Ulumul Hadits Abad Pertengahan
Periode
pertengahan dalam sejarah Islam dimulai sejak pasca keruntuhan Bani Abbasiyah,
yaitu sekitar tahun 1254 M. Ciri yang paling populer pada periode ini adalah
munculnya sistem pembelajaran lewat madrasah, berbeda dengan masa klasik yang
cenderung berpusat pada individu. Oleh karena itu, tidak aneh bila kemunculan
setiap karya, khususnya ulumul hadits didasarkan pada keperluan peembelajaran.
Hampir disepakati bahwa awal
kesempurnaan penyusunan ulumul hadits ada pada periode ini yang ditunjukkan
dengan karya Ibnu Shalah sebagai muara pertama dalam penyusunan dan
pemikiran-pemikirannya tentang ulumul hadits. Oleh sebab itu, Ibnu Shalah
dianggap sebagai orang yang berjasa dalam menyusun metodologi kritis hadits.
Selain Ibnu Shalah, tokoh lain pada
periode pertengahan yang menjadi muara penyusunan dan pemikiran ulumul hadits
adalah Ibnu Hajar al-Asqolani. Bahkan, dilihat dari segi penyusunannya, karya
Ibnu Hajar dianggap sebagai karya yang paling sistematis dan komprehenshif.[3]
1.
Ma’rifah
ulum al-Hadits
Lebih populer dengan nama Muqaddiamah Ibni Shalah, dianggap sebagai
karya terbesar dalam bidang ulumul hadits sekaligus muara kematangan penyusunan
literatur bidang ulumul hadits. Ibnu Shalah menyusun kitabnya atas dasar
keperluan-keperluan mengajar di madrasah al-Ashrafiyyah di Damaskus dengan cara
mendiktekan kepada penulisnya. Selain itu, kitab ini merupakan sumbangsih Ibnu
Shalah terhadap para ahli fiqih dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan
kepada mereka tentang ulumul hadits.
Sistematika penyusunan kitab ini sangat jelas yaitu langsung
membahas persoalan utama yanga ada dalam diskursus al-hadist dan tujuan dari
pengetahuan ulumul hadits yaitu mendapatkan pengetahuan tentang kualitas
hadits. Oleh sebab itu, dalam Mukaddimah, 3 bab awal langsung membahas
pembagian Al-Hadits berdasarkan kualitasnya, shahih, hasan, dan dhaif.
Sedangkan bab-bab selanjutnya bersifat mengikuti kaidah yang telah digariskan
pada 3 persoalan pertama. Hanya saja, sitematika penyusunannya masih tidak
konsisten.
Ibnu Shalah dalam kitab ini menawarkan 65 cabang ulumul hadits.
Dari ke 65 pembahasan yang ia ungkapkan, bab 1 sampai 3 membahas kualitas al-hadits.
Bab 4-8 menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penyandaran periwayatan. Bab
9-12 menjelaskan istilah al-hadits yang lemah karena gugur dari segi
penyandarannya. Bab 13-14 menjelaskan istilah hadits yang lemah karena keadaan
periwayatan dan periwayatnya sekaligus.
Bab 15 menjelaskan i’tibar, bab 16-22 membahas istilah-istilah yang
berkaitan dengan persoalan riwayat yang mengalami masalah pada sanad. Bab 23
sampai 28 menjelaskan kriteria dan kecakapan rawi dalam menerima dan
menyampaikan riwayat. Pada bab-bab berikutnya ia membahas segala hal penting
seputar ulumul hadits lainnya dengan lengkap.
Mukaddimah
Ibnu Shalah ini banyak disyarh oleh para ulama, diantaranya:
a.
Izzuddin
Abu Umar Abdul Aziz bin Muhammad bin Jamaah (694-797H). Kitabnya al-Jawahir
ash-Sihhah fi Syarhi ulum al-Hadits li Ibni Shalah;
b.
Burhanuddin
Abu Ishaq Abu Muhammad ibrahim bin Musa bin Ayyub al-Abnasiy al-Qohiry (725-802
H) Kitabnya as-Syadza al-Fayyah min Ulum Ibni as-Shalah.
c.
Sirajuddin
Abu Hafshah Al-Mishri Al-Bulqini (724-805 H) kitabnya Mahasin al-Ishtilah fi
Tadmin Kitab Ibni Shalah.
Selain tokoh
yang memberikan syarh, ada pula tokoh yang meberi ikhtisar terhadap kitab Ibnu
Shalah, yaitu:
a.
Muhyiddin
abu Zakariya yahya bin Syarf an-Nawawi (632-676H) kitabnya Irsyad at-thullab
al-haqaiq ila Ma’rifat Sunan khair al-Khalaiq saw;
b.
Taqiyuddin
Abu al-Fath Muhammad bin Ali bin Wahb bin Muthi al-Qusyairi al-manfaluti
(625-702H) yang dikenal dengan Ibnu Daqieq al-Id. Kitabnya al-Iiktirah fi Bayan
al-Isthilah wama Udhifa ila Dzalika min al-Ahadits al-Ma’dudah min
as-Shihhah.[8]
2.
Karya-karya
Ibnu Hajar al-Asqolani
Karya-karyanya
dalam ulumul hadits antara lain al-Ifshah ala Nukat Kitab Ibnu Shalah, Nukhbat
al-Fiqh, dan Nuzhat an-Nazhar. Dari ketiga karya itu, 2 karya terakhir adalah
referentasi dari pemikiran Ibnu Hajar
Al-Asqolani dalam bidang ini. Ia lahir di Kairo 12 sya’ban 773 H dan
wafat 28 Zulhijjah 852 H. Boleh jadi, karya yang ditulis merupakan konsekuensi
untuk membuat sesuatu yang baru setelah mengkritik karya-karya yang muncul
sebelumnya. Menurutnya karya tersebut masih memiliki kekurangan dalam membuat
cabang ulumul hadits atau kurang sempurna dalam penyusunannya, seperti ada yang
belum komprehensif, ada yang tidak ringkas bahasanya, dan ada yang belum rapi
sistematikanya. Selain itu, keperluan untuk menjadikan karyanya sebagai suatu
bahan pembelajaran masih menjadi tujuan dari penyusunan bukunya.
Karya-karya yang
muncul sebelum karya Ibnu Hajar hampir sepakat dalam menentukan canbang kajian
ulumul hadits. Yaitu 65 cabang atau lebih. Adapun Ibnu hajar menawarkan kurang
dari jumlah itu, yakni 57 cabang. Sitematika penyusunan sebelum karya Ibnu
Hajar dianggap kurang rapi dan tidak ringkas. Sedangkan Ibnu Hajar memberikan
sitematika yang cukup baik dan menggunakan bahasan yang ringkas, lugas, dan
padat.
D.
Kegiatan Periwayatan Hadist Pada Abad Pertengahan
Periode
ini dimulai sejak kekhalifahan Abbasiyah di Bakhdad ditaklukkan oleh tentara
Tartar (656 H/1258 M), yang kemudianKekhalifahan Abbasiyah tersebut dihidupkan
kembali oleh Dinasti Mamluk dari mesir setelah mereka menghancurkan bangsa
Mongol tersebut. Pembaiatan Khalifah oleh Dinasti Mamluk hanyalah sekedar
simbol saja agar daerah-daerah islam lainya dapat mengakui Mesir sebagai pusat
pemerintahan dan selanjutnya mengakui Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia
Islam, akan tetapi pada abad ke-8 H Ustman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki
diatas puing-puing peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah, sehingga
bersama-sama dengan keturunan Ustman menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada
disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah Ustmaniyah yang berpusat di
Turki. Dengan berhasilnya mereka menaklukkan Konstatinopel dan Mesir serta meruntuhkan
Dinasti Abbasiyah, maka berpindahlah kekuasaan Islam dari Mesir ke
Konstatinopel.Pada abad ke-13 Hijriyah ( awal abad ke-19 H) Mesir dengan dipimpin
oleh Muhammad Ali, mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam.
Namun Eropa yang dimotori oleh Inggris daPerancis semakin bertambah kuat dan
berkeinginan besar untuk menguasaidunia, mereka secara bertahab mulai menguasai
daerah-daerah islam ,sehingga pada abad ke-19 M sampai ke awal abab 20 M,
hampir seluruh wilayah islam dijajah oleh Bangsa Eropa, kebangkitan kembali
dunia islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M.
Sejalan
dengan keadaan dan kondisi-kondisi dunia islam diatas, maka kegiatan
periwayatan hadist pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazah
dan Mukatabah. Sedikit sekali ulama hadist pada periode ini melakukan
periwayatan hadist secara hapalan sebagaimana dilakukan ulama Mutaqaddimin,
diantaranya yaitu:
1.
Al
Traqi (w.806 H/1404 M) dia berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada
400 majelis sejak 796H/1394 M dan juga menulis beberapa kitab hadist.
2.
Ibn
Hajar al Asqalani (w. 852 H/ 1448 M) seorang penghafal hadist yang tiada
bandinganya pada masanya .Dia telah mendiktekan Hadist kepada 1000 majelis
danmenulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan Hadsit.
3.
Al
Sakhawi (w.902 H/1497 M) murid Ibn Hajar yangtelah mendiktekan hadist kepada
1000 majelis dan menulis sejumlah buku.
BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan ulumul hadits dari masa ke masa mengalami perubahan
demi perubahan. Kalau boleh dikatakan berevolusi sesuai masa. Sebuah karya pada
masa tertentu dikritisi, ditambahkan, dan dilengkapi pada masa berikutnya. Hal
semacam ini sangat lumrah dalam bidang ulumul hadits, bahkan dalam segala
disiplin ilmu manapun. Hasilnya, setiap karya dalam satu kurun/masa akan
dilengkapi dan disempurnakan pada masa berikutnya dan sejarah penghimpunan
hadist secara resmi dan massal baru terjadi setelah Khalifah Umar Bin Abdul
Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk menuliskannya.
Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kepala negara dan dikatakan
massal karena perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadist. Diantara
gubernur Madinah yang menerima instruksi untuk mengumpulkan dan menuliskan
hadist yaitu Abu Bakar ibn Hazm.
Awal kesempurnaan penyusunan ulumul hadits ada pada periode abad
pertengahan, yang ditunjukkan dengan karya Ibnu Shalah sebagai muara pertama
dalam penyusunan dan pemikiran-pemikirannya tentang ulumul hadits. Oleh sebab
itu, Ibnu Shalah dianggap sebagai orang yang berjasa dalam menyusun metodologi
kritis hadits. Banyak karya-karya kitab hadits pada abad ini seperti Ma’rifah
ulum al-Hadits, al-Ifshah ala Nukat Kitab Ibnu Shalah, Nukhbat al-Fiqh, dan
Nuzhat an-Nazhar.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Masjfuk
Zuhdi, 1993, Pengantar Ilmu Hadist, Surabaya: Bina Ilmu.
2.
Muhammad
Dede Rudliyana, 2004, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits: dari Klasik sampai
Modern, Bandung : Pustaka Setia.
3.
Nawir
Yuslem.2001,Ulumul Hadist, Jakarta : PT. Muhasa Sumber Widya.
4.
Muhammad
Ahmad, dkk. 2005, Ulumul Hadits, Bandung : Pustaka Setia.
5.
Syaikh
Manna Al-Qaththan, 2005, Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol
Abdurrahman. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
[1] Hadist Nabi
dan sejarah Kodifikasinya(Jakarta: Pustaka Firdaus.1994) hal.106
[2] Masjfuk Zuhdi,
Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Bina Ilmu,1993) hal.81
[3] Muhammad
Muhammad Abu Zahwa, al-Hadits wal Muhadditsun, (Beirut: Darul Kutubil
Arabi,1404), hal.490.
0 komentar:
Posting Komentar